Turonggo yakso berasal dari dongko dengan nama awal
baritan (bubar ngarit tanduran) sehabis panen akan panen lagi. Sebagai rasa
terimakasih terhadap Allah SWT mereka mengadakan pesta/tasyakuran yang
berlokasi di sawah dengan membawa uborampe
(keperluan tasyakuran) spt jenang abang, jenang jengkolo dll. Selain rasa
syukur telah diberikan panene malimpah, juga hewan peliharaan yang digunakan
untuk keperluan sawah juga diberi kesehatan dan terhindar dari penyakit.
Pengharapan dari baritan itu sendiri
setelah sawah mengalami masa panen para warga berharap untuk panen yang aka
datang minimal hasil yang di dapat seperti panaen yang sekarang, syukur juka
melebihi.
Sehabis tasyakuran, para warga pulang kerumah dengan
bersenang-senang dan menari sambil memukul-mukul ember dan menaiki wadah uborampe. Sampai akhirnya pada tahun
1962 tokoh masyarakat yang bernama Pak Pamrin dan kakaknya Pak Mun’an
menciptakan turonggo yakso, yaitu turonggo itu jaran/kuda yakso itu buto/raksasa.
Selain Turonggo Yakso, jenis jaranan di Trenggalek
berupa:
-
Jaranan Pegon
-
Jaranan
Sentherewe
-
Jaranan Breng
-
Jaranan Dor
-
Jaranan Campur
Sari
Namun kelima jenis jaranan tersebut juga tersebar di
luar Trenggalek, jadi pemerintah Trengalek berharap memiliki salah satu jaranan
khas yang tidak di miliki kota lain, entah cara menarinya maupun cara
perawatannya. Kuda yang digunakan penari Turonggo Yakso memiliki 4 filosofis,
yaitu akaluamah, amarah, mutakinah, sufiyah yang merupakan 4 jenis hawa
nafsu manusia. Oleh karena itu kuda tersebut dikendalikan oleh generasi muda
yang kinaceh, maksudnya adalah pemuda
yang ungul, jauh dari narkoba, minuman keras, dan bersungguh-sungguh dalam
menuntut ilmu, hingga akhirya nafsu tadi dapat dikendalikan. Seperti pada
penari Turonggo Yakso yang menari menggunakan kuda tersebut digambarkan dapat
menguasai hawa nafsu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar