ANTOLOGI PUISI
BERHARAP
membaur lama bersama rembulan
hembus angin kaburkan sinaran
dengan ingatan semu belaka
ruang hampa tak lagi sama
saat kulihat bintang menari
mengajak awan bergelut sepi
lama ditinggal awanpun lari
setidaknya masih kudengar
ajakan awan kepada bintang
maukah engkau wahai cahaya?
mengejar impian diesok hari?
KELAM
haruskah ku diam dalam bayang
padahal takdir terus menghadang
berharap bangkit melawan asa
namun aku lemah remah tak berdaya
haruskah pulang membawa bara
gejolak jiwa aku bercinta
entah sayatannya
luka tak dapat kurasa
PAGI
sinar cahayamu
terlintas kuat menembus ufuk
tak kuasa pandangku menghalau
hembusan nafas samarmu
apapun kata pelangi
dengan sinarnya sendiri
yang mampu menari
disepanjang hari
namun kau berkata
tak mungkin dia menerjang
indah dan hangatnya cahaya
yang ku bentangkan abadi
SEBELUM WAKTUMU
mengapa kau disitu
diluar dingin
beribu-ribu dosa mengitarimu
di dalam ragamu, jiwamu, nafasmu
sempatkah engkau bertanya
kenapa dingin tiba-tiba sirna
jangan bertanya kau dimana
biarkan tanah menjawabnya
IBU
lentera ditengah kelam
sepucuk bisikan ditengah kehampaan
setetes embun ditengah gurun
pelukan cinta ditengah duka
tak ada keluh hanyalah peluh
tak ada letih walau tertatih
merasa perih pedih sedih haru sendu
berbaur dalam cinta cita dan kasih sayang
HARUSKAH KU BERTANYA?
haruskah kubertanya pada ribuan buaya
untuk bersandar sementara
menghirup rayuan racun belaka
yang sanggup membuat luka sempurna
apakah yang kau lihat kawan?
mungkin jasat yang tiba-tiba menghilang
yang mampu membunuhmu kala itu
lalu, haruskah ku bertanya?
BAYANG
haruskah kupanggil bayangmu
meski luka tak dapat kukira
kelam mengusik asmara
mencekik nafas teramat lama
MATAKU
mataku bukan matamu
biarlah kau mencari terbitmu
kau hantarkan aku ke antah berantah
hingga perih terpejam merintih
kau tak sanggup kan?
mataku bukan matamu
biarkan dia berenang
melalui lautan amarah
hingga merah, rerbakar, terpedaya
MASA KELAM
api telah membakarnya
kering kerontang hangus tak berdaya
pertolongan apa yang diharap?
hanya masa kelam yang tak dapat kembali
BERSAMA KELAM
ku biarkan awan berjalan
membawa suasana kelam di tengah jalan
engkau tak tau resah sang awan
berbaur manja tak dirasanya
jangan kau biarkan
tolong bantu aku kawan
melawan kelam tak bertuan
membawanya ketepian
SALAMMU
SalamMu kembali terucap
Saat mata, hati, dan jiwa belum menyatu
Salahkah bila tak kubalas sapa?
SalamMu selalu ada
SEPERTIGA MALAM
dikala gelap malam melambai
terbawa raga berlalu lalai
beribu bintang saling bertatap
bercakap ria tanpa merasa
kau tak bisa menatapku utuh
jika kelam meleburkan tatapan
jangan anggap malam mengancam
menodai pesona indahnya rembulan
HITAM PEKAT
tatapanku mulai kabur
kafein kental hitam meluntur
purnama hanya sibuk bertatap mesra
dikala pekat membawa amanat
KAU RENGGUT ANUGERAHKU
anugrahku telah kau buang jauh
dikala sisa manis tak lagi berlabuh
tercincang sadis halus tak tersisa
entah duka hampa atau merana
kini ku telah sanggup berdiri
dengan sayatan luka penuh duri
kulihat bulanpun menangis
berlabuh manis dengan sadis
KAU YANG GILA!
aku melihat bayangmu tersenyum
dikala rasa mulai risau bermain asa
berlarian kemana-mana sesukanya
merenggut nafas dikala senja
aku gila?
diriku hanya tersenyum lebar
kau yang gila!
hanya tertawa tanpa suara
LANGKAH KECIL
langkah kecil gadis muda
menuju singga sana
entah apa yang diharapkan
mungkin cita cinta atau senja
denyut nadi seiring sinar mentari
berbaur indah bercumbu intuisi
kicau burung saling mengisi
dalam lintas dunia imaji
DI BALIK CAKRAWALA
kau dengar kicau burung memanggil
bukan berharap dan tak mengharap
sekedar membalas gurauan hangat
dibalik sang cakrawala menyapa
PUDAR
dulu aku melihatmu bersih bersinar
sulit pandang mataku berpaling
dari segala niat yang terucap
atau lantunan pengharpan disetiap sujud
kini aku merasa dosa dan tak berguna
kulihat sinar mulai tak berbinar
cukup derasnya air mata
yang kini enggan bertatap muka
LENTERA
kulihat lentera dingin membisu
menyimpan beribu-ribu kata
entah ingin menatap atau sekedar berharap
cukup redupnya membiaskan kenyataan
REDUP
beranjak gemerlap meredup
menahan kokohnya hati yang tertutup
dinding rapuh mulai bertanya
haruskah kita bersaling sapa?
jika engkau percaya duka
mengapa kau tak mengenal saya?
kepalan tangan tak lagi mau melemas
jauh melepas segala angkara
PERCUMA
percuma engkau tau nyonya
beribu kata tak mungkin membuatmu paham
akankah aku berbisik padamu nyonya?
percuma jika engkau tau nyonya
CERMIN
haruskah engkau takut nyonya?
cermin itu hanya menggantung terdiam
sejenak tersenyum melihatmu
kenapa engkau takut?
cukup kau pecahkan, tak usah kau mendendam
haruskah kau rombak binar wajahmu
yang tak ada pemburu yang memburu
percuma, cermin tetaplah tersenyum
HENING MALAM
keheningan malam membawaku berjalan
menuntun untuk berfikir sejenak
kenapa malam terjadi jika orang lain tak peduli
bagaimana denganku?
hanya terdim sepi menunggu pagi
KEMBALI KERUMAHMU
kadang aku ingin ke rumahmu
mengulang rasa yang tertahan di setiap labirin
menuang segala jenis perasaan yang ada
namun angan tak selalu sejalan
terpisah bayang di suatu senja sore
terbang melayang bermandikan air mata
PESTA MALAM
kamu tiba di tengah malam
di kala nyonya tertidur lelap
buat apa beranjak tidur
padhal pesta baru dimulai
DI UJUNG JALAN
di ujung jalan itu kau menyapa
berharap kubalas lambaian tanganmu
entah kenapa kau semakin tersamar
dari pekatnya embun di kala sunyi
entah apa maksud lambaianmu
yang tersimpan beribu harapan
tak mampu egoku menjangkau anganmu
terlanjur luntur melupakanmu
RANJANG FANTASI
ranjangmu kau penuhi fantasi
bermain dalam dunia imajinasi
kau cakap membuatku tak berdaya
cukup dalam amukan rasa
GADIS MANJA
nada merdu sang gadis manja
dilantunkan lirih membuai rasa
akankah manja berlabuh mesra
ketika kita tak sanggup berkaca
GERHANA
di kala gerhana menyambut pagi
ribuan arwah bergerilya
mencari rembulan asyik bercanda
untuk membawanya turun bersama
kau tak berharap mentari bangun
memancarkan sinarnya sesaat
sungguh kau tak tau rasa iba
hanya hampa yang kau cipta
KAU BELUM SIAP
senja telah lama menunggu
akankah kau terdiam menerima?
berharap mentari menikmati hangatnya
enggan menggulingkan cakrawala yang
semestinya
aku tau engkau belum siap
bertanggung jawab di balik hembusan sia-sia
KARTU
jangan kau pulang dulu
kita persiapkan kartu untukmu
menjelajahi keheningan malam
di kala mimpi meminta kembali
LELUCONMU
hilang sudah harapan itu
kau rampas dengan lincahnya
yang tak sempat kuanggap nyata
hanya kau anggap lelucon belaka
lucu bagimu?
memang kau pandai bercanda
intuisi lama yang kau gunakan
mengalahkan segala kepercayaan
yang kuanggap segalanya
MALU
cukupkah hanya tersenyum
kau beri anugrah pagi indah ini
yang belum tentu hadir esok hari
aku malu Tuhan aku malu
diriku tak pantas menerima suryamu
namun tak mampu dengan gelapmu
NOSTALGIA
hangat itu hadir kembali
memelukku dari belakang
yang aku duga cinta lama
ternyata hanya jebakan nostalgia
maafkan aku kawan
aku telah menuduhmu
mengiramu angan lama kembali beradu
yang lama hilang namun tak semua
UNTUK APA?
kau berdiam bisa apa
kau berbuat untuk siapa
sudahlah jangan kau pikirkan
duduk dan bersantailah
UNTUK SIAPA?
kau lihat pohon bernafas
tiap daunnya untuk siapa?
kau bakar tembakau
tiap dampaknya untuk siapa?
DUSTAMU
jika berharap damai kenapa kau dustai
berharap air mata luluh terurai
meleburkan utuh bunga mataku
yang kau anggap nikmat terbuai laknat
jangan kau paksa cucuran darahku
melintas halus membelah perlahan
cukup pipi yang merasakan
derita rasa yang merasa kuasa
NAFSUKU
dari sela dadanya
mengaliran sejuta kelembutan
puncak gunung merenungi lembah
di bawah hutan belantara
tak kuasa kutertahan
nafsu liar merasuki jiwa
kurebahkan dekat selanya
berhenti sejenak tanpa berkata
RAYUAN
cukup aku tau rayuan itu
sejenak singgah menuai rasa
hanyut tenggelam terbawa asa
cukup tercabik dengan mudahnya
kau membunuhku perlahan-lahan
dalam kasih yang kau anggap sayang
cukup butakah diriku sayang?
indah sekali tanpa keluhan
SAYONA
terlihat senyum manis menawan
seolah tak asing bagi raga renta ini
tatapan tajam yang mampu menembus lupa
usang lusuh termakan zaman
Sayona, engkaukah itu?
primadona dari segala penjuru hatiku
penabur benih nafsuku dikala itu
namun, takdir itu lucu bagimu
TATAPAN LIANG
kau lihat liang itu
menatapmu tak ada jeda waktu
bak menandai target dengan yakinnya
yang tak mungkin lepas dari inginnya
jangan kau takut kawan
itu hanya liang
cukup yakinlah dengan dirimu
perbuatan dan amalmu
DURJANA
ingatkan aku kepada waktu
yang setiap saat menerkam jiwaku
kau jiwa lelah yang tak tau arah
ikuti aku tuk menjumpai lorong itu
kau jiwa luka terseret pisau durjana
darah mengalir dengan derasnya
di kepala, di leher, di dada
hingga tak ada lagi yang tersisa
HEMBUSAN MALAM
hembusan lirih menjamah sekujur
membuai halus mengalir perlahan
hendaklah kau lihat malam membuai
membalut arwah sang pecinta hati
mungkin hangatku tak sesempurna itu
yang tak sanggup menjaga pesonamu
hanya sekedar ikrar manisku
mencoba berharap selagi menatap
KESENDIRIAN
terlalu lama kau terdiam sendiri
kejenuhan tak lagi sudi mempersinggahi
jika berlari sanggup memuncaki
akankah egomu mampu menghindari?
kau mampu melawan
keinginan mempengaruhi harapan
cukup kau halau jeritan
yang mampu membuatmu bertahan
SENJA
tatkala hujan di senja itu
menggugurkan segala keheningan
saat terhenti ditengah taman
bunga tersenyum bagai mimpi
gemuruh lonceng menghantui
membawa angan beriring berlari
hendakkah kau bercakap kepada hati
lalu kepada siapa aku menanti
SURGA ATAU NERAKA
lama aku mengimpikan surga
yang dapat dipijak ribuan umat
sedih suka bahagia bersama
memberi bercak indah di sana
apakah ini surga?
yang kau anggap segalanya
maafkan aku kawan
bayang cermin yang kutatap tak kulihat menatap
hanya ingin enyah dari rasa bersalah
ikut denganku kawan
menuju neraka yang kuanggap layak
sekedar menghirup udara dengan nyenyak
MUASAL
mungkin engau harus tahu
bukan tentang waktu di zaman dahulu
atau keinginan seorang tentang hal baru
hanya peraturan untuk kembali menyatu
LUCU BUKAN?
sering kau rasakan
kehidupanmu tak selucu mereka
kau gunakan kaki dan tangan
untuk mendapatkan segalanya
tak usah kau heran
mereka tak sehebat dirimu
yang hanya takluk dengan kertas
untuk mendapatkan segalanya
AIR MATAMU
kulihat kusam wajahmu
terbias senyum menahan luka
kulihat utuh air matamu
sejenak diam membeku lalu hilang
apakah alam murka denganmu?
cukup air mata itu membisu
menjawab semua anganku
tentang salahmu di masa lalu
LAPAR
Cukupkah kau lapar hari ini?
Menahan rasa yang kau rasa
Hanya perut yang menderita
Berharap penguasa mendengarnya
Aku tahu kawan
Ini tidak adil
Cukup kau tunggu senja
Dan menanti esok bahagia
KEN DEDES
Kecantikanmu membuatku luluh tak berdaya. Meski purnama tertutup
gerhana, namun sinarmu mampu membelai nafsu angkara. Haruskah ku tebas gerhana
yang menerjangku diruang hampa, mencegahku bersahut sapa, memaksaku dilahap
nestapa.
Wahai kisana, aku tidak bisa berbuat apa-apa tanpa pusaka yang
engkau punya dan menjadikanku sakti mandraguna. Haruskah ku menunggu dan
membiarkan purnama terbelenggu? Maafkan aku kisana, aku tidak bisa menunggu
lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar