Iklan

Selasa, 07 Februari 2017

Antologi Puisi



   ANTOLOGI PUISI

                                                       BERHARAP

malam berbisik membawa sendu
membaur lama bersama rembulan
hembus angin kaburkan sinaran
dengan ingatan semu belaka

ruang hampa tak lagi sama
saat kulihat bintang menari
mengajak awan bergelut sepi
lama ditinggal awanpun lari

setidaknya masih kudengar
ajakan awan kepada bintang
maukah engkau wahai cahaya?
mengejar impian diesok hari?




KELAM      

haruskah ku diam dalam bayang
padahal takdir terus menghadang
berharap bangkit melawan asa
namun aku lemah remah tak berdaya

haruskah pulang membawa bara
gejolak jiwa aku bercinta
entah sayatannya
luka tak dapat kurasa




PAGI 

sinar cahayamu
terlintas kuat menembus ufuk
tak kuasa pandangku menghalau
hembusan nafas samarmu

apapun kata pelangi
dengan sinarnya sendiri
yang mampu menari
disepanjang hari

namun kau berkata
tak mungkin dia menerjang
indah dan hangatnya cahaya
yang ku bentangkan abadi





SEBELUM WAKTUMU  

mengapa kau disitu
diluar dingin
beribu-ribu dosa mengitarimu
di dalam ragamu, jiwamu, nafasmu

sempatkah engkau bertanya
kenapa dingin tiba-tiba sirna
jangan bertanya kau dimana
biarkan tanah menjawabnya





IBU   

lentera ditengah kelam
sepucuk bisikan ditengah kehampaan
setetes embun ditengah gurun
pelukan cinta ditengah duka

tak ada keluh hanyalah peluh
tak ada letih walau tertatih
merasa perih pedih sedih haru sendu
berbaur dalam cinta cita dan kasih sayang




HARUSKAH KU BERTANYA?           

haruskah kubertanya pada ribuan buaya
untuk bersandar sementara
menghirup rayuan racun belaka
yang sanggup membuat luka sempurna

apakah yang kau lihat kawan?
mungkin jasat yang tiba-tiba menghilang
yang mampu membunuhmu kala itu
lalu, haruskah ku bertanya?



 

BAYANG              

haruskah kupanggil bayangmu
meski luka tak dapat kukira
kelam mengusik asmara
mencekik nafas teramat lama





MATAKU

mataku bukan matamu
biarlah kau mencari terbitmu
kau hantarkan aku ke antah berantah
hingga perih terpejam merintih

kau tak sanggup kan?

mataku bukan matamu
biarkan dia berenang
melalui lautan amarah
hingga merah, rerbakar, terpedaya





MASA KELAM     

api telah membakarnya
kering kerontang hangus tak berdaya
pertolongan apa yang diharap?
hanya masa kelam yang tak dapat kembali

 


BERSAMA KELAM

ku biarkan awan berjalan
membawa suasana kelam di tengah jalan
engkau tak tau resah sang awan
berbaur manja tak dirasanya

jangan kau biarkan
tolong bantu aku kawan
melawan kelam tak bertuan
membawanya ketepian





SALAMMU 

SalamMu kembali terucap
Saat mata, hati, dan jiwa belum menyatu
Salahkah bila tak kubalas sapa?
SalamMu selalu ada




SEPERTIGA MALAM     

dikala gelap malam melambai
terbawa raga berlalu lalai
beribu bintang saling bertatap
bercakap ria tanpa merasa

kau tak bisa menatapku utuh
jika kelam meleburkan tatapan
jangan anggap malam mengancam
menodai pesona indahnya rembulan





HITAM PEKAT

tatapanku mulai kabur
kafein kental hitam meluntur
purnama hanya sibuk bertatap mesra
dikala pekat membawa amanat




KAU RENGGUT ANUGERAHKU      

anugrahku telah kau buang jauh
dikala sisa manis tak lagi berlabuh
tercincang sadis halus tak tersisa
entah duka hampa atau merana

kini ku telah sanggup berdiri
dengan sayatan luka penuh duri
kulihat bulanpun menangis
berlabuh manis dengan sadis




KAU YANG GILA! 

aku melihat bayangmu tersenyum
dikala rasa mulai risau bermain asa
berlarian kemana-mana sesukanya
merenggut nafas dikala senja

aku gila?
diriku hanya tersenyum lebar
kau yang gila!
hanya tertawa tanpa suara




LANGKAH KECIL          

langkah kecil gadis muda
menuju singga sana
entah apa yang diharapkan
mungkin cita cinta atau senja

denyut nadi seiring sinar mentari
berbaur indah bercumbu intuisi
kicau burung saling mengisi
dalam lintas dunia imaji




DI BALIK CAKRAWALA

kau dengar kicau burung memanggil
bukan berharap dan tak mengharap
sekedar membalas gurauan hangat
dibalik sang cakrawala menyapa




PUDAR      

dulu aku melihatmu bersih bersinar
sulit pandang mataku berpaling
dari segala niat yang terucap
atau lantunan pengharpan disetiap sujud

kini aku merasa dosa dan tak berguna
kulihat sinar mulai tak berbinar
cukup derasnya air mata
yang kini enggan bertatap muka




LENTERA
                  
kulihat lentera dingin membisu
menyimpan beribu-ribu kata
entah ingin menatap atau sekedar berharap
cukup redupnya membiaskan kenyataan





REDUP      

beranjak gemerlap meredup
menahan kokohnya hati yang tertutup
dinding rapuh mulai bertanya
haruskah kita bersaling sapa?

jika engkau percaya duka
mengapa kau tak mengenal saya?
kepalan tangan tak lagi mau melemas
jauh melepas segala angkara




PERCUMA 

percuma engkau tau nyonya
beribu kata tak mungkin membuatmu paham
akankah aku berbisik padamu nyonya?
percuma jika engkau tau nyonya




CERMIN

haruskah engkau takut nyonya?
cermin itu hanya menggantung terdiam
sejenak tersenyum melihatmu
kenapa engkau takut?

cukup kau pecahkan, tak usah kau mendendam
haruskah kau rombak binar wajahmu
yang tak ada pemburu yang memburu
percuma, cermin tetaplah tersenyum




HENING MALAM

keheningan malam membawaku berjalan
menuntun untuk berfikir sejenak
kenapa malam terjadi jika orang lain tak peduli
bagaimana denganku?
hanya terdim sepi menunggu pagi
 


KEMBALI KERUMAHMU        

kadang aku ingin ke rumahmu
mengulang rasa yang tertahan di setiap labirin
menuang segala jenis perasaan yang ada
namun angan tak selalu sejalan
terpisah bayang di suatu senja sore
terbang melayang bermandikan air mata



PESTA MALAM             

kamu tiba di tengah malam
di kala nyonya tertidur lelap
buat apa beranjak tidur
padhal pesta baru dimulai



DI UJUNG JALAN

di ujung jalan itu kau menyapa
berharap kubalas lambaian tanganmu
entah kenapa kau semakin tersamar
dari pekatnya embun di kala sunyi

entah apa maksud lambaianmu
yang tersimpan beribu harapan
tak mampu egoku menjangkau anganmu
terlanjur luntur melupakanmu




RANJANG FANTASI      

ranjangmu kau penuhi fantasi
bermain dalam dunia imajinasi
kau cakap membuatku tak berdaya
cukup dalam amukan rasa




GADIS MANJA    

nada merdu sang gadis manja
dilantunkan lirih membuai rasa
akankah manja berlabuh mesra
ketika kita tak sanggup berkaca




GERHANA

di kala gerhana menyambut pagi
ribuan arwah bergerilya
mencari rembulan asyik bercanda
untuk membawanya turun bersama

kau tak berharap mentari bangun
memancarkan sinarnya sesaat
sungguh kau tak tau rasa iba
hanya hampa yang kau cipta




KAU BELUM SIAP         

senja telah lama menunggu
akankah kau terdiam menerima?
berharap mentari menikmati hangatnya
enggan menggulingkan cakrawala yang semestinya
aku tau engkau belum siap
bertanggung jawab di balik hembusan sia-sia




KARTU                

jangan kau pulang dulu
kita persiapkan kartu untukmu
menjelajahi keheningan malam
di kala mimpi meminta kembali



LELUCONMU      

hilang sudah harapan itu
kau rampas dengan lincahnya
yang tak sempat kuanggap nyata
hanya kau anggap lelucon belaka

lucu bagimu?

memang kau pandai bercanda
intuisi lama yang kau gunakan
mengalahkan segala kepercayaan
yang kuanggap segalanya




MALU                  

cukupkah hanya tersenyum
kau beri anugrah pagi indah ini
yang belum tentu hadir esok hari
aku malu Tuhan aku malu
diriku tak pantas menerima suryamu
namun tak mampu dengan gelapmu





NOSTALGIA         

hangat itu hadir kembali
memelukku dari belakang
yang aku duga cinta lama
ternyata hanya jebakan nostalgia

maafkan aku kawan
aku telah menuduhmu
mengiramu angan lama kembali beradu
yang lama hilang namun tak semua





UNTUK APA?       

kau berdiam bisa apa
kau berbuat untuk siapa
sudahlah jangan kau pikirkan
duduk dan bersantailah



UNTUK SIAPA?   

kau lihat pohon bernafas
tiap daunnya untuk siapa?
kau bakar tembakau
tiap dampaknya untuk siapa?


 

DUSTAMU 

jika berharap damai kenapa kau dustai
berharap air mata luluh terurai
meleburkan utuh bunga mataku
yang kau anggap nikmat terbuai laknat

jangan kau paksa cucuran darahku
melintas halus membelah perlahan
cukup pipi yang merasakan
derita rasa yang merasa kuasa





NAFSUKU

dari sela dadanya
mengaliran sejuta kelembutan
puncak gunung merenungi lembah
di bawah hutan belantara

tak kuasa kutertahan
nafsu liar merasuki jiwa
kurebahkan dekat selanya
berhenti sejenak tanpa berkata




RAYUAN    

cukup aku tau rayuan itu
sejenak singgah menuai rasa
hanyut tenggelam terbawa asa
cukup tercabik dengan mudahnya

kau membunuhku perlahan-lahan
dalam kasih yang kau anggap sayang
cukup butakah diriku sayang?
indah sekali tanpa keluhan




SAYONA

terlihat senyum manis menawan
seolah tak asing bagi raga renta ini
tatapan tajam yang mampu menembus lupa
usang lusuh termakan zaman

Sayona, engkaukah itu?
primadona dari segala penjuru hatiku
penabur benih nafsuku dikala itu
namun, takdir itu lucu bagimu




TATAPAN LIANG           

kau lihat liang itu
menatapmu tak ada jeda waktu
bak menandai target dengan yakinnya
yang tak mungkin lepas dari inginnya

jangan kau takut kawan
itu hanya liang
cukup yakinlah dengan dirimu
perbuatan dan amalmu




DURJANA  

ingatkan aku kepada waktu
yang setiap saat menerkam jiwaku
kau jiwa lelah yang tak tau arah
ikuti aku tuk menjumpai lorong itu

kau jiwa luka terseret pisau durjana
darah mengalir dengan derasnya
di kepala, di leher, di dada
hingga tak ada lagi yang tersisa




HEMBUSAN MALAM

hembusan lirih menjamah sekujur
membuai halus mengalir perlahan
hendaklah kau lihat malam membuai
membalut arwah sang pecinta hati

mungkin hangatku tak sesempurna itu
yang tak sanggup menjaga pesonamu
hanya sekedar ikrar manisku
mencoba berharap selagi menatap




KESENDIRIAN     

terlalu lama kau terdiam sendiri
kejenuhan tak lagi sudi mempersinggahi
jika berlari sanggup memuncaki
akankah egomu mampu menghindari?

kau mampu melawan
keinginan mempengaruhi harapan
cukup kau halau jeritan
yang mampu membuatmu bertahan





SENJA                 

tatkala hujan di senja itu
menggugurkan segala keheningan
saat terhenti ditengah taman
bunga tersenyum bagai mimpi

gemuruh lonceng menghantui
membawa angan beriring berlari
hendakkah kau bercakap kepada hati
lalu kepada siapa aku menanti





SURGA ATAU NERAKA

lama aku mengimpikan surga
yang dapat dipijak ribuan umat
sedih suka bahagia bersama
memberi bercak indah di sana

apakah ini surga?
yang kau anggap segalanya
maafkan aku kawan
bayang cermin yang kutatap tak kulihat menatap

hanya ingin enyah dari rasa bersalah
ikut denganku kawan
menuju neraka yang kuanggap layak
sekedar menghirup udara dengan nyenyak




MUASAL    

mungkin engau harus tahu
bukan tentang waktu di zaman dahulu
atau keinginan seorang tentang hal baru
hanya peraturan untuk kembali menyatu





LUCU BUKAN?   

sering kau rasakan
kehidupanmu tak selucu mereka
kau gunakan kaki dan tangan
untuk mendapatkan segalanya

tak usah kau heran
mereka tak sehebat dirimu
yang hanya takluk dengan kertas
untuk mendapatkan segalanya




AIR MATAMU                

kulihat kusam wajahmu
terbias senyum menahan luka
kulihat utuh air matamu
sejenak diam membeku lalu hilang

apakah alam murka denganmu?
cukup air mata itu membisu
menjawab semua anganku
tentang salahmu di masa lalu





LAPAR                 

Cukupkah kau lapar hari ini?
Menahan rasa yang kau rasa
Hanya perut yang menderita
Berharap penguasa mendengarnya

Aku tahu kawan
Ini tidak adil
Cukup kau tunggu senja
Dan menanti esok bahagia


 

KEN DEDES        

Kecantikanmu membuatku luluh tak berdaya. Meski purnama tertutup gerhana, namun sinarmu mampu membelai nafsu angkara. Haruskah ku tebas gerhana yang menerjangku diruang hampa, mencegahku bersahut sapa, memaksaku dilahap nestapa.

Wahai kisana, aku tidak bisa berbuat apa-apa tanpa pusaka yang engkau punya dan menjadikanku sakti mandraguna. Haruskah ku menunggu dan membiarkan purnama terbelenggu? Maafkan aku kisana, aku tidak bisa menunggu lama.

Aku tahu ini bukan diriku. Nafsu telah membuatku buta akan segalanya. Namun cinta tetaplah cinta, aku tidak ingin berakhir duka. Wahai gerhana aku datang membawa pusaka, membebaskannya dari jeratanmu. Aku tahu ini kejam, karena gelapmu membuatnya luka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar