Iklan

Rabu, 15 Februari 2017

BENTUK STEREOTIP PRIA DALAM KALIMAT WACANA BUKU TEKS BI SD DI MI PERWANIDA BLITAR



M Fikri Ferdiansyah
Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bentuk stereotip pria dalam kalimat pada wacana buku teks BI SD di MI Perwanida Blitar. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik dokumentasi untuk mengumpulkan datanya. Bentuk stereotipe pria dalam kalimat pada wacana buku teks BI SD di MI Perwanida Blitar menggambarkan tentang peran, sifat dan aktifitas yang dianggap pantas untuk pria di buku teks kelas tiga, empat, lima dan enam.
                     Kata kunci: Stereotipe pria, Wacana, Buku teks BI

ABSTRACT: The purpose of this research is to uncover man stereotype form in the sentences that exists in the BI textbook for elementary school and MI Perwanida Blitar. This research uses documentation techniques to collection data. Man stereotype form in the sentences that exists in the BI textbook for elementary school and MI Perwanida Blitar describes about roles, characteristics and activities that is judged proper to man in the textbook for grade three, four, five and six.
Keyword: Man stereotype, Wacana, BI textbook

Wacana merupakan satuan bahasa terbesar yang digunakan dalam komunikasi, rangkaian kata membentuk frasa, dan rangkaian frasa membentuk kalimat, dan khirnya rangkaian kalimat membentuk wacana (Arifin dan Rani, 2000:3). Dalam buku teks BI SD terdapat pesan yang diterima oleh setiap siswa dengan makna yang bisa sama, bisa berbeda. Diperlukan kajian yang lebih rinci agar setiap pesan yang termuat dalam buku teks dapat benar-benar sesuai dengan tujuan Pendidikan Nasional. Salah satu bentuk kajian yang mulai diperhitungkan oleh pihak Departemen Pendidikan Nasional adalah kajian jender dalam pendidikan.
Buku teks merupakan sarana yang strategis untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Salah satu pesan yang ada dalam buku teks adalah tentang jender dan realitas kesetaraan jender. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bentuk stereotipe wanita dan stereotipe pria yang merupakan bagian dari jender, dan bentuk kesetaraan jender dalam wacana pada buku teks Bahasa Indonesia SD. Siswa SD yang rata-rata berusia 7-13 tahun, masuk dalam golongan usia pendidikan dasar. Pada fase ini anak menyerap nilai-nilai budaya, norma, dan juga ideologi di sekitarnya terutama di sekolah (Kartono, 1986:136).
Stereotipe adalah pelabelan yang dilekatkan pada pria dan wanita, bisa berupa peran yang dianggap pantas dan tidak pantas, sifat yang dianggap pantas dan tidak pantas bagi pria dan wanita, yang terdapat dalam kalimat pada wacana buku teks Bahasa Indonesia terbitan Tiga Serangkai yang digunakan di MI Perwanida Blitar. Stereotipe pria merupakan pelabelan yang diberikan masyarakat kepada pria. Pelabelan tersebut bisa berupa sifat, aktivitas yang dianggap cocok, pekerjaan, sikap, dan sebagainya. Stereotipe seringkali tidak dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan karena diproses oleh kultur dan diabadikan dalam sistem masyarakat.

METODE
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik dokumentasi untuk mengumpulkan datanya. Peneliti berfungsi sebagai instrumen kunci, dan menggunakan tabel penyaring data untuk mengumpulkan dan menganalisis data. Tabel penyaring data tersebut berisi indikator kalimat yang bermakna stereotipe wanita, indikator kalimat yang bermakna stereotipe pria, dan kalimat yang bermakna kesetaraan jender. Analisis data yang dipakai adalah teknik analisis data kualitatif. Data yang dianalisis adalah kalimat yang bermakna stereotipe jender wanita, stereotipe jender pria, dan kesetaraan jender dalam wacana pada buku teks BI SD.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik dokumentasi karena data yang dikumpulkan berupa dokumen. Prosedur yang ditempuh dalam pengumpulan data dalam penelitian ini antara lain mengadakan eksplorasi terhadap buku teks BI yang telah ditetapka sebagai sumber data guna memperoleh gambara umum tentang wacana yang disajikan di dalamnya, mencatat data yang ditemukan dalam buku teks, dan memberi kode pada kalimat. Secara garis besar, tahap-tahap penelitian ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut. 1) Persiapan penelitian. Persiapan penelitian merupakan tahap awal dalam proses pengerjaan penelitian. 2) Pelaksanaan Penelitian. Setelah judul telah pasti ditentukan, tahap berikutnya adala pelaksanaan penelitian. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan penelitian ini meliputi pengumpulan data dan analisis data. 3) Tahap penyelesaian. Tahap penyelesaian adalah tahap terakhir dalam penelitian. Terdapat beberapa proses yang harus dilalui yang diuraikan dalam penjelasan sebagai berikut, penulisan laporan, revisi, penggandaan laporan penelitian, dan penyerahan laporan penelitian.
Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen kunci sekaligus sebagai pengumpul data. Sebagai instrumen kunci, peneliti memainkan peran sebagai instrumen kreatif yang berperan serta dalam menentukan perencanaan, pelaksanaan, pengumpulan data, analisis data, penafsiran data, dan akhirnya menjadi pelapor hasil penelitian. Adapun aspek yang dianalisis dalam penelitian ini adalah stereotipi pria dalam kalimat pada wacana buku teks BI.

HASIL
Stereotipe pria yang ada dalam buku teks BI SD kelas 3 sampai dengan kelas 6 berupa pelabelan tentang aktivitas dan kegiatan yang dianggap pantas untuk pria dan sifat pria. Peran pria digambarkan sebagai pencari nafkah, penentu kebijakan, dan kepala dalam jabatan-jabatan publik. Aktivitas pria juga lebih diarahkan pada aktivitas yang membutuhkan ketangkasan dan kekuatan.
Peran pria sebagai pencari nafkah dalam keluarga adalah peran berdasarkan jender yang ditetapkan oleh masyarakat dan disosialisasikan pada pria sejak dia kecil. Tanggungjawab tersebut bahkan diperkuat oleh teks-teks agama dan keyakinan adat istiadat. Jender adalah konstruksi sosial budaya, yaitu sifat pria dan wanita yang dikonstruksi, terjadi melalui proses yang panjang kemudian disosialisasikan, diperkuat, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos, sehingga seolah-olah telah menjadi keyakinan.
Peran pria sebagai pencari nafkah juga telah memberikan pria kekuasaan secara ekonomi atas anggota keluarga lainnya. Pria sebagai pencari nafkah dan sebagai kepala keluarga dijadikan satu paket karena keduanya merupakan kesatuan peran yang harus dijalankan oleh pria. Adanya peran jender berakibat pada adanya ketimpangan akses terhadap pendidikan dan peluang kerja antara pria dan wanita. Pendidikan tinggi lebih diutamakan untuk pria karena dianggap penting sebagai bekal untuk bekerja, dan peluang kerja banyak terbuka untuk pria karena dianggap sebagai penopang ekonomi keluarga. Bahkan jika wanita sebagai orang tua tunggal, mereka tetap memiliki peluang kerja lebih sedikit dari pada pria. Posisi pria sebagai penanggungjawab utama keluarga merupakan beban berat yang ditanggung setiap pria. Dalam prakteknya tidak semua pria bisa melaksanakan tanggungjawab tersebut dengan sempurna. Tuntutan dari anak dan istri terkadang tidak mempertimbangkan kemampuan pria yagn terbatas untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
 Sifat pria juga ditentukan oleh jender. Pria harus kuat, rasional, pemberani, superior, dan maskulin. Sifat-sifat tersebut merupakan produk masyarakat tentang jender yang dilekatkan pada pria. Kegiatan yang dibiasakan pada anak pria juga kegiatan yang mendukung sifat-sifat tersebut. Kegiatan seperti silat, sepakbola, memanah, merupakan kegiatan yang dianggap cocok untuk pria dan sesuai dengan sifat maskulin pria. Sejak pria dilahirkan sudah ada seperangkat sifat yang harus dipelajarainya agar dia bisa dianggap pria. Setiap saat setiap individu selalu diingatkan dengan sifat jender mereka. Anak pria yang penakut akan dimarahi oleh orang tuanya, anak pria yang lemah akan diejek oleh temannya, anak pria yang nakal akan lebih ditolerir oleh lingkungan sekolahnya.
Keberadaan wacana yang cenderung stereotipe pria dalam buku teks juga telah membentuk pola pikir yang timpang pada siswa. Siswa yang dalam perkembangannya tidak sesuai dengan ketentuan jender yang telah diterimanya sejak kecil akan merasa berbeda dan tidak percaya diri. Seperti anak pria yang memiliki sifat mudah terharu, tidak pemberani dan lemah akan dicemooh sebagai tidak pria.
Buku teks SD yang menemani siswa selama enam tahun telah menjadi sarana yang efektif dalam proses pembentukan pribadi siswa. Informasi yang diperoleh satu arah tidak memungkinkan terjadinya proses dialogis maupunkritis, yang ada hanya penjejalan norma dan paham yang dibentuk oleh kepentingan pihak yang membuat buku teks. Stereotipe pria yang diterima siswa sebagai informasi satu arah mengendap dalam memori siswa dan dalam kelanjutannya akan menjadi keyakinan hidup.

 
PEMBAHASAN
Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain, atau oleh seorang kepada orang lain (Soekanto, 1993). Stereotipe pria merupakan pelabelan yang diberikan masyarakat kepada pria. Pelabelan tersebut bisa berupa sifat, aktivitas yang dianggap cocok, pekerjaan, sikap, dan sebagainya. Pembrian sifat tertentu terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif, hanya kerena ia berasal dari suatu kelompok tertentu yang berssifat positif maupun negative (Amanda G,. 2009). Stereotipe seringkali tidak dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan karena diproses oleh kultur dan diabadikan dalam sistem masyarakat. 
Dalam buku teks BI SD kelas 3 sampai dengan kelas 6 terdapat 8 kategori kalimat dalam wacana yang bermakna stereotpi pria. Kalimat tersebut terbagi menjadi 2 kalimat dalam wacana buku teks kelas 3, 2 kalimat dalam wacana pada buku teks kelas 4, 2 kalimat dalam wacana pada buku teks kelas 5, dan 2 kalimat dalam wacana pada buku teks kelas 6. Di bawah ini merupakan uraian dari kategori kalimat yang bermakna stereotipe pria dalam buku teks yang terbagi dalam kelas 3, kelas 4, kelas 5, dan kelas 6.
Terdapat kalimat yang bermakna stereotipe jender pria pada buku teks BI SD kelas 3. Bentuk kalimat sederhana, dengan struktur yang masih belum sempurna. Berikut ini uraian kalimat bermakna stereotipe pria dalam buku teks Bahasa Indonesia kelas 3 beserta analisisnya.
“Kalau begitu bos pilih domba yang mana bos?” tanya si gembala sambil mengamat-amati semua domba yang ada. Pak Tani memperhatikan domba yang ada di sudut kiri belakang (3/A/W13/P10/K3/SP).
Kalimat tersebut bermakna stereotipe pria. Pekerjaan beternak merupakan pekerjaan untuk pria. Pilihan pekerjaan ini merupakan konsep jender yang dibentuk untuk pria. Jender dibentuk oleh kultur masyarakat, termasuk adanya wilayah pekerjaan yang pantas dan tidak pantas untuk pria dan wanita. Pekerjaan beternak merupakan pekerjaan yang dianggap pantas untuk pria, dan tidak pantas untuk wanita.
Tuh, sombong betul si Arman! Baru seminggu saja belajar silat, sudah tinggi hati (3/A/W14/P2/K1/SP).  
Kalimat tersebut bermakna stereotipe jender pria. Setiap anak pasti memilih aktivitas yang sesuai dengan jender yang dibiasakan pada mereka. Silat merupakan aktivitas yang dianggap cocok untuk pria. aktivitas ini dianggap pantas karena sesuai dengan sifat maskulin yang dilekatkan pada pria. Wanita yang diberi label sifat feminin, lemah lembut dianggap tidak cocok dengan aktivitas silat yang identik dengan sifat keras.
Dalam buku teks BI SD kelas 4 terdapat suatu kalimat yang bermakna stereotipe jender pria. Jumlah kategori yang ada lebih banyak daripada kategori yang terdapat dalam buku teks kelas 3. Bentuk kalimat sudah lebih fareatif, dengan struktur yang lebih sempurna. Berikut ini uraian kalimat bermakna stereotipe pria dalam buku teks Bahasa Indonesia kelas 4 beserta analisisnya.
Tiap hari ayah bekerja keras. Pagi-pagi sampai pukul dua berada di kantor (4/A/W2/P2/K2/SP).
Kalimat tersebut bermakna stereotipe jender pria. Pembagian peran jender dalam keluarga sudah ada sejak dulu. Hal ini diperkuat dengan tafsir terhadap teks-teksagama tentang kewajiban istri dan suami. Gambaran ayah yang bekerja keras untuk menghidupi keluarga telah menutup realita di lapangan bahwa ibu juga bekerja keras untuk merawat keluarga. Posisi pencari nafkah akan dianggap lebih tinggi daripada penjaga keluarga, bahkan ketika ibu bekerjapun belum bisa menempatkan ayah dan ibu dalam relasi yang setara. Kontribusi ekonomi yang diberikan oleh wanita yang menanggung bebab ganda, tetap dianggap sebagai pendapatan nomor dua dalam keluarga.
Pak sopir hanya memberikan isyarat dengan tangan bahwa kol sudah penuh. Ia tidak pernah memuat penumpang berlebih (4/A/W18/P3/K5/SP).
Kalimat di atas bermakna stereotipe jender pria. Pekerjaan sopir merupakan pekerjaan yang dianggap cocok bagi pria. Cakupan wilayah interaksi publik yang melekat pada profesi sopir, dianggap cocok bagi pria yang sudah diberi porsi sendiri di wilayah publik.
Dalam buku teks BI SD kelas 5 terdapat suatu kalimat yang bermakna stereotipe jender pria. Jumlah kategori yang ada lebih banyak daripada kategori yang terdapat dalam buku teks kelas 4. Bentuk kalimat sudah lebih fareatif, dengan struktur yang lebih sempurna. Berikut ini uraian kalimat bermakna stereotipepria dalam buku teks Bahasa Indonesia kelas 5 beserta analisisnya.
Seniman besar, seperti Rhoma Irama, Iwan Fals, Doel Sumbang adalah bukti besar nyata bahwa beberapa penyanyi bernama besar itu, dulu pun menjadi pengamen (5/A/W1/P2/K1/SP).
Kalimat tersebut bermakna stereotipe jender pria. Profesi seniman sebenarnya bisa dilakukan oleh pria maupun wanita, namun seniman besar yang diakui seringkali hanya seniman pria. Pria dinilai lebih daripada wanita, bahkan di wilayah yang seharusnya hanya karya yang menjadi tolok ukur. Pria yang belajar seni dituntut harus terampil dalam bidang tersebut, karena dianggap lebih bisa menguasai seni daripada wanita.
Pada waktu kehidupan warga desa itu mulai membaik, pertanian semakin maju, maka Pak Kades ingin melaksanakan niatnya yang telah lama terpendam,... (5A/W13/P3/K1/SP).
Kalimat tersebut termasuk bermakna stereotipe jender pria. Kalimat tersebut bermakna stereotipe jender wanita. Kepala Desa merupakan pimpinan di tingkat desa yang memimpin komunitas tertentu secara adminstratif. Pemimpin harus pria, merupakan kesepakatan bersama dalam masyarakat karena menganggap wanita tidak memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. 
Dalam buku teks BI SD kelas 6 terdapat suatu kalimat yang bermakna stereotipe jender pria. Jumlah tersebut menurun dibandingkan dengan kategori yang ditemukan dalam kalimat pada wacana buku tekskelas 4 dan 5. Struktur kalimat lebih sempurna, dan tema yang diangkat juga lebih berbobot. Berikut ini uraian kalimat bermakna stereotipe pria dalam buku teks Bahasa Indonesia kelas 6 beserta analisisnya.
Terlepas dari sebutan kuno atau tidak, nyatanya ayah mencintainya setengah mati. Buktinya, sudah puluhan tahun ia menjadi guru dan menjabat Kepala Sekolah (6/A/W2/P2/K1-2/SP).
Kalimat tersebut bermakna stereotipe jender pria. Jabatan Kepala Sekolah merupakan jabatan dengan kekuasaan tertentu di wilayah publik. Karena jender telah menempatkan pria di wilayah publik dan meminggirkan wanita di wilayah domestik, maka akses wanita untuk menduduki jabatan Kepala Sekolahpun juga terbatas. Dasar dari kondisi tersebut adalah anggapan ataupun kesepakatan sosial. Pria dianggap lebih mampu, sehingga lebih pantas menduduki posisi Kepala Sekolah.
Setelah selesai, Sudirman diangkat menjadi Komandan Bataliyon di Kroya. Ia bersikap tegas dan sering memprotes. (6/B/W2/P3/K12-3/SP).
Kalimat tersebut bermakna stereotipe jender pria. Profesi di bidang militer merupakan profesi yang dianggap cocok untuk pria. Profesi ini merupakan simbol maskulinitas pria. Jender merupakan konsep sosial yang membedakan peran antara pria dan wanita. Profesi di bidang militer untuk pria ditentukan berdasarkan pembagian peran jendernya.

PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan yang berkaitan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan adalah bentuk stereotipe pria dalam kalimat pada wacana buku teks BI SD di MI Perwanida Blitar. Bentuk stereotipe pria dalam kalimat pada wacana buku teks BI SD di MI Perwanida Blitar pada umunya menggambarkan tentang peran, sifat dan aktifitas yang dianggap pantas untuk pria. Bentuk stereotipe pria dalam kalimat wacana buku teks BI SD di MI Perwanida Blitar lebih banyak terdapat pada buku teks kelas empat dan lima, namun dalam atikel ini masing-masing hanya terdapat dua bentuk setereotipe pria.
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, ada tiga saran yang bisa disampaikan. 1) Hendaknya dicantumkan pertimbangan kesetaraan jender dalam penyusunan kurikulum pelajaran Bahasa Indonesia SD khususnya, danumumnya pada buku teks pelajaran lain. 2) Hendaknya dilakukan seleksi terhadap penerbit yang masuk ke sekolah, dengan pertimbangan hanya penerbit yang buku teksnya memuat keadilan dan keadilan jender saja yang bisa diterima. 3) Hendaknya ada sosialisasi tentangpentingnya paradigma keadilan dan kesetaraan jender dalam pendidikan dan perangkat pembelajarannya.


Daftar Rujukan
Indriani, Istaufa. 2007. Analisis Wacana pada Buku Teks Bahasa Indonesia di MI Perwanida Blitar dengan Tinjauan Konsep Kesetaraan Jender. Universitas Negeri Malang: Skripsi.
Arifin, Bustanul dan Rani, Abdul. 2000. Prinsip-prinsip analisis wacana. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Kartono, Kartini. 1986. Psikologi anak. Jakarta: CV Rajawali
Soekanto, Soerjono. 1993. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Amanda G, Ni Made Ras. 2009. Masyarakat Majemuk II Stereotipe. Makalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar