Iklan

Jumat, 17 Februari 2017

FUNGSI SOSIAL KARYA SASTRA TERHADAP PEMBACA



M Fikri Ferdiansyah
Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang


Abstrak: Karya sastra adalah ungkapan langsung dari penulis untuk pembacanya. Pada abad ke-19 peran sastrawan, karya sastra dan pembaca dalam garis lurus yang didominasi pengarang, setelah abad ke-20 didominasi oleh karya sastra. Terdapat berbagai karya sastra yang diciptakan penulis untuk penikmatnya. Dalam memahami karya sastra, pembaca sastra tentu berbeda-beda sesuai latar belakangnya. Oleh karena itu karya sastra memiliki macam tingkatan yang berbeda sesuai kebutuhan pembaca. Setelah sampai kepada pembaca, karya sastra akan dibaca, dihayati, dan dinikmati pembaca. Sosiologi pembaca merupakan salah satu model kajian sosiologi sastra yang memfokuskan perhatian kepada hubungan antara karya sastra dengan pembaca. Fungsi sosial karya sastra terhadap pembaca dapat diketahui dengan ditentukan wilayah kajiannya, faktor-faktor sosial budaya politik yang melatarbelakangi tanggapan pembaca, bagaimana pembaca memanfaatkan karya tertentu, dan mengumpulkan data yang diperlukan dilanjutkan dengan memaknai data tersebut.
Kata kunci: Karya sastra, pembaca
Karya sastra merupakan ungkapan yang ingin disampaikan penulis terhadap pembaca. Selain itu lahirnya sebuah karya sastra adalah untuk dapat dinikmati oleh pembaca. Sebagai suatu keutuhan komunikasi yang berasal dari sastrawan yang menciptakan karya sastra yang ditujukan kepada pembaca, pada hakikatnya karya sastra akan sampai pada pembaca. Jika kita bertolak pada abad ke-19, secara historis pun peranan sastrawan, karya sastra, dan pembaca berurutan dalam garis yang lurus (sastrawan-karya sastra-pembaca).
Abad ke-19 sejarah sastra didominasi oleh pengarang. Setelah abad ke-20 sejarah sastra didominasi oleh karya sastra, kemudian di dominasi oleh pembaca pada sebagian abad selanjutnya. Pada abad ke-19 karya sastra hanya berfungsi sebagai sarana untuk memahami pengarang dan kebudayaan yang lebih luas. Awal abad ke-20 terjadi pergeseran dari sastra yang sebagai sarana kepada sastra sebagai dunia yang otonom sehingga sastra dapat disusun atas dasar perkembangan struktur intrinsiknya. Kemudian disusul dengan hadirnya peranan pembaca setelah pemahaman terhadap karya sastra mendominasi.

PENGERTIAN SOSIOLOGI PEMBACA
Sosiologi pembaca merupakan salah satu model kajian sosiologi sastra yang memfokuskan perhatian kepada hubungan antara karya sastra dengan pembaca. Menurut Wellek dan Warren (1994), hal-hal yang menjadi wilayah kajian sosiologi pembaca antara lain adalah permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra, serta sejauh mana karya sastra ditentukan atau bergantung dari latar sosial, perubahan, dan perkembangan sosial. Sedangkan menurut Ian Watt (Dalam Damono, 1984), sosiologi pembaca juga mengkaji fungsi sosial sastra dan mengkaji sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial. Jadi, berdasarkan pendapat tokoh tersebut, hal-hal yang menjadi kajian sosiologi pembaca, yaitu dampak sosiologis karya sastra terhadap pembaca dan fungsi sosial karya sastra.

PERMASALAHAN PEMBACA
Pembaca merupakan audiens yang dituju oleh pengarang dalam menciptakan karya sastranya. Dalam hubungannya dengan masyarakat pembaca atau publiknya, menurut Wellek dan Warren (1994), seorang sastrawan tidak hanya mengikuti selera publiknya atau pelindungnya, tetapi juga dapat menciptakan publiknya. Menurutnya, banyak sastrawan yang melakukan hal tersebut, misalnya penyair Coleridge. Sastrawan baru, harus menciptakan cita rasa baru untuk dinikmati oleh publiknya.
Beberapa sastrawan Indonesia, juga memiliki publik yang berbeda-beda, sesuai dengan aliran sastra, gaya bahasa, serta isi karya sastranya. Iwan Simatupang, Budi Darma, dan Putu Wijaya memiliki publik pembaca yang berbeda dengan Umar Kayam, Ahmad Tohari, atau pun Pramudya Ananta Toer. Karya-karya Iwan Simatupang, Budi Darma, dan Putu Wijaya yang berkecenderungan beraliran surealistis, inkonvensional, dan penuh dengan renungan filosofi mengenai hidup manusia, lebih sesuai untuk publik yang memiliki latar belakang intelektual perguruan tinggi dan kompetensi sastra yang relatif tinggi. Sementara karya-karya Umar Kayam dan Ahmad Tohari yang cenderung beraliran realisme, konvensional, bicara mengenai masalah-masalah sosial budaya memiliki publik  lebih luas, hampir sebagian masyarakat pembaca Indonesia dapat menikmati karya-karya mereka.
Latar belakang pembaca yang membaca karya-karya pengarang tertentu berbeda-beda. Adapun latar belakangnya sebagai berikut.
·             Membaca karena ingin menikmatinya sebagai sebuah karya seni.
·             Membaca karena harus melakukan penelitian terhadap karya-karya sastra.
·             Membaca karena harus memilih karya-karya tertentu untuk berbagai kepentingan, seperti menyeleksi karya-karya yang harus dijadikan bahan bacaan wajib di sekolah (proyek Dinas Pendidikan Dasar dan Mengengah, Depdiknas).
·             Memililih karya terbaik dalam sebuah sayembara penulisan karya sastra untuk mendapatkan penghargaan (proyek Dewan Kesenian Jakarta, Yayasan Khatulistiwa, atau Yayasan Nobel).
·             Membaca untuk membuat resensi yang lebih berpretensi kepada promosi sebuah karya sastra baru agar dikenal dan dipilih oleh masyarakat pembaca secara lebih luas.
Menurut Iser, pembaca karya sastra sesungguhnya berbeda-beda yang tentu saja akan menerima teks dengan sikap yang berbeda pula. Perbedaan pengalaman akan sangat menentukan pemaknaan dan keberterimaan teks sastra. Dalam kaitan ini, ada beberapa kategori pembaca, antara lain.
·         Supereader artinya, pembaca yang berpengalaman. Pembaca semacam ini kemungkinan yang disebut pembaca akademik dan kritis. Karena mereka akan mampu memahami hubungan semantik dan pragmatik terhadap teks sastra. Bahkan terjadinya degresi (penyimpangan) cerita serta pemanfaatan stilistika yang keliru pun, pembaca demikian akan mengetahuinya. Pembaca semacam ini biasanya banyak membaca pula teori-teori sastra. Pembaca semacam ini disebut juga pembaca ideal.
·         Informed reader artinya, pembaca yang tahu, yang berkompeten. Pembaca ini biasanya memiliki kemampuan bahasa, semantik, dan kode sastra yang cukup. Kategori ini sejalan dengan istilah pembaca implisit, yaitu pembaca yang mampu menggunakan kode-kode tekstual secara menyeluruh.
·         Intented reader, yaitu pembaca yang telah berada pada benak penulis ketika merekonstruksikan idenya. Model pembaca semacam ini telah terbayangkan oleh penulis, misalnya pembaca anak-anak muncul pada saat seorang pengarang menulis cerita anak. Pembaca semacam ini, meskipun sifatnya juga masih meraba-raba, mungkin akan lebih komunikatif. Sekurang-kurangnya pemahaman aspek bahasa dan psikologis sastranya telah terpenuhi. Kategori ini sejalan dengan istilah real reader, actual reader, yaitu manusia yang benar-benar melaksanakan tindakan pembacaan.
Dari tiga ragam pembaca menurut Iser di atas, memang bukan tanpa kelemahan. Bahkan ketiganya sama sekali belum menyinggung pembaca awam. Padahal pembaca awam sesungguhnya memiliki peran penting terhadap makna teks. Pembaca awam kadang-kadang juga lebih objektif dan polos, sehingga menilai karya sastra menurut pengetahuan dan visinya. Mereka lebih orisinal dalam membaca sastra karena belum terkontaminasi dengan teori-teori.

FUNGSI SOSIAL KARYA SASTRA
Setelah sampai kepada pembaca, karya sastra akan dibaca, dihayati, dan dinikmati pembaca. Dalam bukunya, Ars Poetica (tahun 14 SM), Horatius (via Teeuw, 1988:183) telah mengemukakan tugas dan fungsi karya sastra dalam masyarakat, yaitu dulce et utile (berguna dan memberi nikmat atau sekaligus mengatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan). Apa yang dikemukakan oleh Horatius tersebut kemudian menjadi dasar perkembangan teori pragmatik, sosiologi pembaca, dan resepsi sastra.
Fungsi sosiologi sastra, menurut Watt (Damono, 1984: 70-71), akan berkaitan dengan pertanyaan: seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial  dan sampai seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial. Dalam kaitan ini ada tiga hal yang perlu diungkap. 
·         Sudut pandang kaum romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi.
·         Sudut pandang bahwa karya sastra bertugas sebagai penghibur belaka.
·         Semacam kompromi dapat dicapai dengan meminjam selogan klasik sastra harus mengajarkan sesuatu dengan jalan menghibur.
Dari berbagai fungsi tersebut peneliti sosiologi sastra dapat mengonsentrasikan pada salah satu fungsi. Dari tiga fungsi tersebut, tampak menggiring peneliti ke arah empirik. Oleh karena tanpa data empirik yang akurat seorang peneliti hanya akan berandai-andai berharap dengan fungsi sastra. Fungsi sastra tentu harus digali langsung dari masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, sosiologi sastra banyak dimanfaatkan oleh peneliti sastra yang berbau marxis. Paham marxisme berasumsi bahwa sastra, kebudayaan, agama pada setiap jaman – merupakan ideologi dan suprastruktur yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas zamanya. Dengan demikian, sejarah dipandang sebagai suatu perkembangan terus-menerus.
Penelitian sosiologi sastra marxisme tersebut, tampaknya kurang berkembang di Indonesia. Padahal, di Indonesia meskipun menolak system kelas juga sering ada pertentangan anta relit dan golongan bawah. Mungkin sekali hanya istilah saja yang berbeda, jika orang lain menggunakan istilah kelas, Indonesia mengunakan paham pusat-daerah, wong gedeh-wong cilik elit rakyat kecil dan seterusnya. Berbagai sekmen yang dikotomis tersebut, ternyata juga sering menarik perhatian satrawan sehingga seharusnya juga menarik pula bagi penelitian sosiologi satra.
Jika bagi Marx, sastra dan kebudayaan merupakan reflek perjuangan kelas untuk “melawan” kapitalis, di Indonesia pun hal demikian juga ada hal senada. Di Indonesia telah lama pula terjadi perjungan kaum kecil terhadap kapitalis yang dikenal dengan sebutan konglomerat. Hal ini telah menarik sastrawan untuk mengekspresikan idenya bahwa konglomerat di era Orde Baru telah bergandeng tangan dengan pemerintah sehingga menyebabkan robohnya sendi-sendi ekonomi kerakyatan.
Berarti hampir tak ada masyarakat yang tanpa kelas, tetapi tidak berarti bahwa kehadiran kelas musti harus bertentangan. Di Indonesia, tanpaknya kehadiran kelas atau lebih tepatnya strata sosial (elit rakyat) sering bersinggungan. Persinggungan kepentingan yang melebar ke masalah kekuasaan itu, juga sering menarik perhatian sastrawan. Itulah sebabnya, karya sastra dapat dipandang sebagai refleksi kehidupan sosial dan kekuasaan. Karya sastra akan mengambarkan “jarak” perbedaan sastra sosial terus-menerus. Hal semacam ini juga sering diungkapkan melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra yang representatif,
Pada prinsipnya, di negara barat sosiologi sastra memang lebih memusatkan perhatian pada perangkat produksi, distribusi, dan pertukaran sastra dalam suatu masyarakat tertentu – bagaimana buku-buku diterbitkan, bagaimana komposisi sosial terhadap pengarang dan audiensnya, tingkat kemampuan bacanya, serta keterbatasan sosial “selera”. Artinya membawa karya sastra juga dapat mengkaji teks-teks sastra sebagai relevensi “sosiologi”, artinya membawa karya sastra kedalam bentuk abstrak melalui tema-tema yang menarik sejarawan soial.
Pendapat itu memberikan gambaran penelitian sosiologi sastra tentang dua hal. Pertama, penelitian sosiologi sastra dapat ke arah dalam kaitannya dengan keberadaan teks sastra dan pembacanya. Kedua, teks sastra tersebut dapat direlevansikan dengan kepentingan-kepentingan studi sosial yang lain, misalkan sejarah sosial.
Dalam kaitan itu, Saini KM (1986: 14-15) memberikan tiga kedudukan sastra terhadap kehidupan (masyarakan), yakni sebagai pemekatan, penentangan, dan olok-olok. Ketiga ini sebenarnya berkaitan dengan fungsi sastra bagi kehidupan sosial. Karya sastra sebagai pemekatan, memang akan mengambarkan kehidupan masyarakat. Namun, gambaran itu bukan jiplakan, disaring dan dikristalisasi kedalam imajinasi pengarang. Menentang kehidupan, misalkan pencipta tidak setuju dengan KKN rezim Orde Baru, lalu lahir karya sastra bertema demikian. Ini berarti karya sastra menjadi penentang jaman dan aturan yang keliru. Mengolok-olok atau mengejek kehidupan, biasanya, pencipta sangat mahir memainkan ironi, paradoks, dan prodi ke dalam karyanya. Karena itu, sikap sastra yang memperolok ini sangat sensitif dan perka terhadap perkembangan zaman.
Sedangkan kajian sosiologi pembaca menurut Junus (1986:19), yang dipentingkan adalah reaksi dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra tertentu, sedangkan karya sastranya sendiri diabaikan, menjadi periferal. Untuk melihat reaksi dan penerimaan pembaca terhadap suatu karya sastra, menurut Lowental (via Junus, 1986:19) perlu diperhatikan iklim sosiobudaya masyarakatnya. Hal ini karena latar belakang sosial budaya masyarakatlah yang membentuk  cita rasa dan norma-norma yang digunakan pembaca dalam menanggapi karya sastra tertentu.
Fungsi sosial karya sastra terhadap pembaca dapat diketahui dengan cara berikut.
·         Ditentukan wilayah kajiannya, misalnya apakah akan membatasi pada komunitas pembaca tertentu yang membaca dan menanggapi karya tertentu, ataukah akan meneliti juga bagaimana karya tertentu ditanggapi oleh pembacanya.
·         Faktor-faktor sosial budaya politik  yang melatarbelakangi tanggapan pembaca.
·         Bagaimana pembaca memanfaatkan karya tertentu.
·         Mengumpulkan data yang  diperlukan dilanjutkan dengan memaknai data tersebut.

TELAAH SOSIOLOGI PEMBACA NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK
RDP menekankan upacara inisiasi yang harus dilakukan oleh tokoh Srintil. Konsep inisiasi ini bertolak dari pengertian bahwa seseorang “dianggap” dewasa setelah melakukan upacara tertentu, misalnya upacara perpeloncohan mahasiswa baru untuk menegaskannya sebagai mahasiswa. Upacara inisiasi harus dikaitkan dengan sumber asalnya, yakni mitos dan realitas.
Mitos adalah sebuah dunia kemungkinan, sesuatu yang belum pasti, tetapi mempengaruhi kehidupan manusia. Mitos itu sendiri dibentuk oleh realita. Sebab itu, mitos adalah realitas itu sendiri. Mitos itu juga timbul dari realitas dan keadaannya selalu berubah-ubah sesuai pandangan pribadi atau masyarakat.
Jadi, proses-proses inisiasi timbul dan bertolak dari mitos atau kepercayaan yang selalu diupacarakan. Di Dukuh Paruk ada mitos bahwa Dukuh Paruk tanpa ronggeng terasa hambar, para ibu di Dukuh Paruk itu merasa senang sekali bila anaknya menjadi ronggeng.  Di samping itu para istri merasa bangga bila suami mereka dapat bertayub dengan ronggeng.
Untuk menjadi ronggeng itu sendiri timbul mitos bahwa seorang ronggeng sejati bukan hasil pengajaran melainkan indang (semacam wangsit yang dimuliahkan dari dunia peronggengan) telah merasuki tubuhnya. Bila hal itu di Dukuh Paruk, maka Dukuh itu berada pada citra yang sebenarnya dan arwah Ki Secamenggala akan terbahak di kuburnya.
Dengan penampilan mitos dan upacara tersebut, novel RDP dapat dilihat sebagai berikut:
·         Pengukuhan (myth of concern) terhadap mitos dan upacara. Hal ini dapat dilihat dari presepsi Srintil yang menganggap upacara sebagai keharusan, dan karenanya ia tak memberontak upacara itu. Ia melihatnya sebagai sesuatu yang wajar, berperilaku sebagai orang lugu, semua yang dialami dianggapnya sebagai hukum keharusan sehingga harus diterima secara pasrah. Ia merasa sakit dibagaian perutnya pada upacara buka kelambu, tapi ia tetap bertahan pada posisinya.
·         Kepergian Rasus merupakan reaksi tidak setuju (myth of freedom) terhadap mitos dan upacara. Dalam presepsinya Srintil adalah figur tempat ia menemukan profil ibunya. Ia tidak mau bersetubuh dengan Srintil di dekat kuburan Ki Secamenggala, meskipun atas ajakan Sritil bukan karena ia takut akan kekeramatan kuburan itu, melainkan karena tubuh Srintil dianggapnya sebagai tubuh ibunya sendiri.
Sebenarnya Rasus sangat memberontak terhadap mitos-mitos dan upacara-upacara itu, terutama upacara bukak kelambu yang dianggapnya sebagai arena pembantaian atau penjagalan. Membayangkan hal itu ia merasa muak bercampur marah sebab melalui upacara itu mustika yang diharagai selama ini musnah sudah. Rasus merasa sangat kehilangan karena Srintil telah menjadi milik umum. Ia sangat menghargai Srintil yang tidak mau menempuh upacara bukak kelambu dan memutuskan tidak menjadi ronggeng, tetapi ia tidak punya kekuatan untuk menolak hukum keharusan itu. Merasa tidak bisa berkompromi lagi dangan nilai-nilai lama sebagai warisan leluhurnya, Rasus akhirnya meninggalkan pedukuhannya yang terpencil itu untuk mencari pengalaman hidup atau kompensasi. Tetapi agaknya Tohari optimis, “Aku, Rasus, sudahh menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk akan ku tinggalkan.” (RDP, hal:178).
Cerita yang terdiri atas empat bagian ini lebih terasa sebagai simbol dari pada cerita kisah ini merupakan penyampaian dalam bentuk lain. RDP mengemukakan sebuah tema yang sangat manusiawi. Seorang pemuda melihat kemusnahan impiannya tentang wanita ideal, sebagai ibu sekaligus kekasih, sehingga melenyapkan cinta kasih yang murni, daya khayal, dan rasa kebersamaan. Tema itu lazim dikenal dalam masyarakat barat, sehingga tema novel RDP boleh dikatakan bersifat Universal.
Untuk melukiskan keindahan dan keserasihan alam digunakan citraan-citraan yang menyarankan adanya hubungan saling berpengaruh, saling bergantung antara tumbuh-tumbuhan dan binatang, misalnya:
“demikian kearifan alam mengatur agar pohon randu tidak tumbuh berdekatan biayanya.” Atau “Pohon dadap memilih cara yang hampir sama bagi penyebaran jenisnya.” (RDP, hal:6).
“pada saat demikian kampret harus mau melalap daun waru agar jenisnya lestari.” (RDP, hal:14).
Kecuali citraan yang menggambarkan keserasian alam. Tohari memilih perdampingan dalam pengertian umpatan dan perbandingan manusia-binatang, misalnya:
            “Rasus memanjat, cepat seperti seekor monyet.” (RDP, hal:10)
“Tetapi Santayih mendengarnya sebagai hiruk pikuk suara ribuan monyet …” (RDP, hal:39)
“Aku tidur melingkar seperti Trenggiling” (RDP, hal:85)
“Melihat Srintil telanjang bulat di hadapanku, aku teringat kambing jantanku bila sedang birahi.” (RDP, hal:103)
Perbandingan-perbandingan membayangkan keakraban penderitaan dengan lingkungan yang melahirkan dan membesarkan. Sedang perbandingan dalam pengertian umpatan membuktikan tata kemasyarakatan warga Dukuh Paruk sangat longgar dalam hal moral atau tata susila.
            “Santayib. Engkau anjing! Asu buntung!” (RDP, hal:34).
            “Bajingan! Kalian semua bajingan tengik!” (RDP, hal:35).
            “Kartareja memang bajingan, bajul bunting!” (RDP, hal:75).
            “Sulam, jangkrik kamu!” (RDP, hal:113)

Kekuatan pelukisan latar tempat dan latar sosial yang terasingkan dari desa lain dan dengan demikian memiliki nilai tersendiri, juga banyak diramaikan oleh banyaknya jenis satwa yang terdapat di dalamnya. RDP-lah yang berhasil menghimpun begitu banyak jenis binatang di dalamnya, meski latar tempatnya hanya “Gerumbul kecil di tengah padang yang amat luas”.
Sebagai dukuh “terasing” sebenarnya Paruk menjadi latar yang menguntungkan Tohari untuk menggarap alur dan tokoh-tokohnya. Pertama, penggambaran masyarakat yang lugu terasa menyimpang dari alam pikir tradisional. Tetapi di Dukuh Paruk pelanggaran etika dan kerukunan tampak “dihalalkan”, apakah hal semacam ini merupakan warisan Ki Secamenggala yang semasa hidupnya dikenal sebagai bromocoran? Atau memang demikian “kerukunan” versi Dukuh Paruk? Yang jelas:
“Di sana (Dukuh Paruk) seorang suami misalnya, tidak perlu berkelahi bila suatu saat menangkap basah istrinya sedang tidur bersama laki-laki tetangga. Suami tersebut telah tahu cara bertindak yang lebih praktis, mendatangi istri tetangga itu dan menidurinya. Habis segala urusan!” (RDP, hal:136).
“Di sana di Dukuh Paruk, aku juga tahu ada obat bagi perempuan-perempuan mandul. Obat itu bernama lingga, kependakan dari kata yang berarti penis tetangga.” (RDP, hal:137).
Kedua, penggambaran watak Rasus kurang dapat dipahami dari segi cultural maupun psikologis. Rasus tidak jarang tampak terlalu bodoh, tidak jarang pula terlalu pintar dalam memahami nilai-nilai yang dihadapinya. Rupanya pengarang terlalu meyakini dan membesar-besarkan makana ungkapan jalma tan kena kinira, sehingga kurang member posisi yang cukup dan wajar bagi munculnya kesadaran cultural tokohnya.
Ketiga, memotret sosok kehidupan masyarakat lama, tetapi yang muncul justru warna kebudayaan muda dan sifat-sifat tokoh yang tidak mencerminkan akar-akar budaya yang kuat. Novel ini ingin memperlihatkan nilai-nilai yang serba goya, tetapi keinginan ini tidak kesampaian justru karena sifat kebromocorahan yang lebih mencuat.
Akibat negative dari penggambaran kebobrokan moral dan kejahatan seksual yang sangat menonjol dalam RDP ini adalah kemungkinan timbulnya kesan “pembenaran” hubungan seksual di luar nikah. Kemungkinan salah tafsir selalu ada karena cerita disampaikan secara simbolis melalui lakuan-lakuan dan antagonis cerita sama sekali tidak memberi komentar baik-buruk bid’ah budaya.
Sekecil apapun, RDP telah menguyuhkan kepada pembaca seperangkat informasi, khususnya yang berkaitan dengan seluk-beluk dunia peronggengan beserta nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalamnya, kesenian ronggeng merupakan ciri khas kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah itu sendiri merupakan unsure penting dalam kerangka identitas nasional. 

Penutup
Pada dasarnya, karya sastra sangat bermanfaat bagi kehidupan, karena karya sastra dapat memberi kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup, walaupun dilukiskan dalam bentuk fiksi. Karya sastra dapat memberikan kegembiraan dan kepuasan batin. Hiburan ini adalah jenis hiburan intelektual dan spiritual. Karya sastra juga dapat dijadikan sebagai pengalaman untuk berkarya, karena siapa pun bisa menuangkan isi hati dan pikiran dalam sebuah tulisan yang bernilai seni.




Daftar Rujukan
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Departemen dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metode Penelitian Sastra: Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS.
Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode. Yogyakarta: Gramedia.
Sumardjo, Jakob dan Saini, K.M. 1986. Apresiasi Kesusatraan. Jakarta: Gramedia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tohari, A. 2004. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Wellek Renne & Austin Werren. 1994. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Jaya.
Yournata, Andrian. 2014. Sosiologi Pengarang, Karya Sastra, dan Pembaca, (Online), (http://ilmubahasajawa.wordpress.com/2014/01/05/sosiologi-pengarang-karya-sastra-dan-pembaca/) , diakses tanggal 14 November 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar