Permasalahan Sosial dalam Novel Harimau! Harimau!
Karya Mochtar Lubis
Mochtar Lubis (lahir di Padang, Sumatera
Barat, 7 Maret 1922 – meninggal di Jakarta, 2 Juli 2004 pada umur 82 tahun)
adalah seorang jurnalis dan pengarang ternama asal Indonesia. Sejak zaman
pendudukan Jepang ia telah dalam lapangan penerangan. Ia turut mendirikan
Kantor Berita ANTARA, kemudian mendirikan dan memimpin harian Indonesia Raya
yang telah dilarang terbit. Ia mendirikan majalah sastra Horizon bersama-sama
kawan-kawannya. Pada waktu pemerintahan rezim Soekarno, ia dijebloskan ke dalam
penjara hampir sembilan tahun lamanya dan baru dibebaskan pada tahun 1966.
Pemikirannya selama di penjara, ia tuangkan dalam buku Catatan Subversif
(1980).
Harimau! Harimau! adalah sebuah novel
Indonesia yang ditulis oleh Mochtar Lubis dan diterbitkan tahun 1975. Ditulis
di sebuah penjara di Madiun sebagai tanggapan kepada bangsa Indonesia mengenai
kepemimpinan abadi Presiden Soekarno. Novel ini bercerita tentang tujuh
pengumpul damar yang diserang oleh seekor harimau ketika pulang ke desanya dan
gagal diselamatkan oleh pemimpinnya yang karismatik. Buku ini mendapat banyak
pujian dan mendapat penghargaan Buku Terbaik dari Departemen Pendidikan dan
Budaya RI. Novel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, dan
Mandarin.
Ketika ia masih muda, Mochtar Lubis
sering bertualang ke belantara Sumatera. Lubis kelak menulis bahwa dua
peristiwa selama masa itu, yaitu melihat rumah bagus yang terabaikan dan
bertemu dengan harimau, menjadi inspirasinya dalam penulisan Harimau! Harimau!
Inspirasi lain berasal dari masa penahanannya, saat ia berpikir tentang
kepemimpinan karismatik Soekarno maupun dukun tradisional serta kelemahan
kekuatan seperti itu. Harimau! Harimau! banyak dipuji setelah diluncurkan.
Novel ini mendapat penghargaan Buku Terbaik dari Yayasan Buku Utama, bagian
dari Depdikbud RI, pada tahun 1975; pesan moralnya dianggap sebagai pelajaran
berharga bagi kaum remaja. Tahun 1979, Harimau! Harimau! menerima penghargaan
dari Yayasan Jaya Raya.
Dalam novel “Harimau! Harimau!”
menceritakan tokoh “Buyung” seorang pemuda yang baru berumur 19 tahun, namun ia
telah bekerja untuk mencari nafkah ke hutan belantara. Di hutan, ia tak
sendiri, ada Wak Katok, Pak Haji, Pak Balam, Sutan, Sanip, dan Talib yang
menemaninya. Mereka bertujuh pergi ke hutan untuk mengumpulkan damar. Perjalanan
mereka yang diceritakan dalam novel kali ini merupakan suatu petualangan yang
amat menegangkan. Buyung dan yang lainnya, dikejar-kejar oleh seekor harimau
yang kelaparan. Berhari-hari mereka mencoba untuk menyelamatkan diri. Namun,
satu persatu dari mereka menjadi korban. Tekanan pun mereka alami, karena ada
ancaman harimau yang berada di depan mereka.
Dalam novel ini juga diceritakan dengan
lengkap dan terperinci bagaimana watak dan kepribadian masing-masing tokoh. Disetiap
tokoh memiliki kebaikan dan keburukan. Dalam novel ini diceritakan bahwa mereka
bertujuh harus mengakui semua kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuat. Karena
mereka menganggap harimau yang mengejar-ngejar mereka adalah seekor harimau
siluman yang diutus Tuhan untuk membinasakan orang-orang yang berdosa. Namun,
tak satupun dari mereka yang berani untuk menceritakan hal-hal buruk yang
pernah mereka lakukan terhadap satu dan yang lainnya. Salah satu dari mereka
menganggap, sebelum membunuh harimau yang memburu-buru mereka, yang tak kalah
pentingnya adalah untuk membunuh terlebih dahulu harimau yang berada dalam diri
sendiri.
Dalam novel tersebut tampak jelas
permasalahan-permasalahan yang ada dalam kehidupan sosial, yaitu masalah
kepemimpinan, masalah pernikahan dan masalah agama. tiga masalah ini adalah hal
pokok dalam kehidupan sosial, berikut penjelasannya.
Permasalahan tentang kepemimpinan yang terdapat dalam novel
Harimau! Harimau! yang tercermin dalam novelnya yaitu, lemahnya tugas
kepemimpinan dalam kelompok. Pemimpin tidak mampu mengatur serta membina
hubungan yang lebih baik dengan para anggota atau bawahannya. Begitu pula, dia
tidak mampu melindungi anggota kelompoknya dari serangan lawan. Dia hanya
mementingkan keselamatan dan kepentingan diri sendiri. Adapun yang menjadi
penyebab terjadinya permasalahan demikian yaitu pemimpin bersifat lemah dan
pura-pura. Kehebatan pemimpin hanya di mulut saja. Mulanya, memang dia dianggap
sebagai pemimpin yang hebat dan berwibawa. Tetapi ketika dia dengan kelompoknya
berada dalam suatu bahaya, dia tidak mampu menampakkan semuanya itu, sehingga
anggota kelompok tidak hormat dan percaya lagi pada dirinya. Anggota kelompok
berbalik menentang pemimpinnya.
Permasalahan tentang perkawinan yang terdapat dalam novel
Harimau! Harimau! yaitu tidak adanya kebahagiaan dalam perkawinan. Latar
belakang atau penyebab tidak adanya kebahagiaan dalam perkawinan karena suami
sudah tua dan “lemah”, suami sibuk dan lama berada di luar rumah dan
keterbatasan perekonomian suami dalam mencukupi kebutuhan rumah tangga. Akibat
dari tidak adanya kebahagiaan dalam perkawinan dapat menimbulkan berbagai macam
fenomena sosial. Baik yang berasal dari dalam diri, rumah tangga, maupun
masyarakat. Dari dalam diri, seperti terjadinya berbagai macam gejala kejiwaan;
berupa rasa benci, dendam, stress, dan sebagainya. Dari dalam rumah tangga,
berupa pertengkaran, penyelewengan, dan sebagainya. Dari dalam masyarakat,
lebih banyak lagi, di samping terbawa yang datang dari dalam diri dan rumah
tangga, ditambah dengan sikap mengasingkan diri, meracuni diri, pemberontakan,
dan sebagainya.
Masalah selanjutnya yaitu masalah agama. Dalam konteks ini
adalah Islam, karena Mochtar Lubis adalah seorang muslim. Islam akan memberikan
upah atau imbalan terhadap penganutnya yang taat, begitu sebaliknya, akan
memberikan ganjaran atau balasan terhadap penganutnya yang tidak taat, baik di
dunia maupun akhirat. Sebuah pencerminan dalam novel itu adalah menurut
pengakuan Pak Balam, harimau yang mengejar-ngejar mereka adalah harimau kiriman
Tuhan akibat dari perbuatan salah mereka selama ini. Dan mungkin secara tidak
langsung memang benar adanya pengakuan itu, sebab mereka yang selamat dari
terkaman harimau adalah mereka yang sadar akan salahnya. Islam pun berkata
demikian bahwa orang yang salah kemudian bertaubat maka Tuhan akan membebaskan
dia dari dosanya. Demikianlah masalah sosial yang tercantum dalam Novel
itu.
Pemimpin yang lemah dan pura-pura tidak
akan pernah bisa mencapai tujuan yang diinginkan oleh kelompok, yang muncul
malah pertikaian anatara pemimpin dan yang dipimpin. Pernikahan tanpa landasan
cinta tidak akan pernah menghadirkan sebuah kebahgian dalam rumah tangga namun
yang terjadi malah sebaliknya yaitu kesengsaraan salah seorang diantara
keduanya dan jika terus berlanjut,
berikut akan diemban oleh
keturunannya. Perbuatan dosa dalam beragama akan menyengsarakan diri sendiri
baik didunia maupun di akhirat. Juga hal tersebut berakibat pada orang lain.
Dan individualisme tinggi sangat iorang lain dalam kehidupan sosial. Jadi,
hal-hal tersebut adalah hal-hal yang bakal merugikan kehidupan sosial.
Sinopsis Harimau Harimau karya
Mochtar Lubis
Mereka kemudian kembali di tempat mereka
bermalam, dengan hati yang lega Sanip dan Sutan menurunkan keranjang ke tanah,
dan Buyung mengembalikan senapan kepada Wak Katok. Talib terlentang di atas
tanah di dalam pondok karena diserang harimau. Dadanya hancur dicakar, pahanya
hancur digigit sampai terbuka ke tulang. Di sampingnya terbaring Pak Balam yang
kelihatannya demamnya bertambah panas, matanya terbuka memandang ke atas dan
dengan suara lembut ia berkata “… Dosa,… Aku berdosa… mencuri… curiii, ampun
Tuhan… La ilaha ill…” tiba-tiba nafasnya berhenti dan meninggal. Seorang dari
mereka kini telah mati akibat serangan harimau yang menurut Pak Balam dikirim
Tuhan untuk menghukum mereka.
Akan tetapi mereka hendak hidup terus, mereka hendak keluar dari hutan, mereka
hendak meninggalkan rimba dengan selamat.
“Apa Talib mencuri? Apa yang dicurinya?” kata Pak Haji memandang
Sanip, Buyung dan Sutan berganti-ganti. Buyung menjawab : ”Aku tak tahu apa
maksudnya”. Pak Balam berkata : “Belum juga kalian sadar dan insyaf. Talib
telah mati Aku akan menyusulnya tak lama lagi. Aku tahu badanku tak kuat lagi
menahan demam ini, akuilah dosa-dosa kalian supaya kalian diselamatkan Tuhan.
Syukurlah Talib masih sempat mengakui dosa-dosanya. Tobatlah!”
Akan tetapi Sanip tak dapat menahan dirinya, dan berseru: “Memang
kami berdosa”, Sutan berkuat pegangannya di bahu Sanip dengan suara keras
berkata: “Sanip”. Akan tetapi Sanip melepaskan pegangan Sutan dari bahunya, dan
kemudian dengan gerakan tangan dan kaki yang cepat Dia menjatuhkan Sanip ke
atas tanah. Sanip menghela diri dan Sutan jatuh ke tanah. Di tanah mereka
berdua bergumul. Selama itu terjadi Wak Katok duduk saja diam-diam memegang
senapannya. Setelah mereka direlai, Buyung memegang Sutan dan Pak Haji memegang
Sanip. Sanip bercerita: “Kami bertiga Talib, Sutan dan Aku, enam bulan yang
lalu yang mencuri empat ekor kerbau Haji Serdang di kampong Kerambi, kami
mencurinya malam-malam, ketika penjaga kerbau mengetahuinya Talib menikamnya
hingga Dia rubuh. Dia tak mengenal kami, dan kami berhasil mencurinya. Itulah
dosa kami bertiga”
Setelah mereka sembahyang maghrib tak seorang juga hendak makan. Malam itu tak
seorangpun dapat tidur, mereka selalu ingat kepada perkataan Wak Katok: “Esok
pagi kita kuburkan Talib”. Dan sepanjang malam mereka duduk mengelilingi Talib,
mendo’a dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an.
Dan di luar lingkaran cahaya di dalam gelap
rimba belantara, mereka seakan merasakan kehadiran harimau yang ganas
yangmondar-mandir, menggu kesempatan dengan tak sabar. Di dalam setiap
kegelapan, di belakang setiap daun, di belakang setiap pohon, di belakang
setiap dahan dan di belakang setiap bunyi mereka seakan mendengar bunyi tapak
harimau yang melangkah dengan halus dan mendekati, mendekati, mendekati,
mendekati….
Permasalahan
Yang Nyata
Antologi
Cerpen: Gres Karya Putu Wijaya
Putu Wijaya, yang produktif bernama
lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya, lahir di Puri Anom, Saren, Kangin, Tabanan,
Bali, 11 April 1944. Sejak duduk di SMP mulai menulis cerita pendek dan ketika
di SMA Singaraja mulai terjun ke dalam kegiatan sandiwara. Tamat SMA masuk
Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, meraih gelar Sarjana Hukum jurusan
Perdata (1969). Sebelum hijrah ke Jakarta (1970) ia belajar melukis di ASRI dan
drama di ASDRAFI Yogyakarta. Aktif dalam pementasan-pementasan drama Yogya,
kemudian bergabung ke dalam Bengkel Teater pimpinan Rendra. Di Jakarta jadi
pemain drama Kecil pimpinan Arifin C. Noer dan Teater Populair pimpinan Teguh
Karya, kemudian mendirikan Teater Mandiri.
Ciri khas dari Putu Wijaya antara lain Meneror
Mental Pembaca Lewat Karya. “Sebuah cerita pendek adalah bagaikan sebuah mimpi
baik dan mimpi buruk. Tidak terlalu penting urutan, jalinan, karena
kadang-kadang ada dan kadangkala tidak. Yang utama adalah pekabaran yang
dibawanya, daya pukau, daya magis, ibarat, tikaman jiwa, firasat dan berbagai
efek yang diberondongnya menyerang siapa saja yang mengalami mimpi itu. Ia bisa
gamblang, jelas secara mendetail dan persis melukiskan apa yang terjadi, tetapi
ia juga bisa kebalikan atau buram sama sekali sebuah ramalan yang memerlukan
tafsir. Cerita pendek adalah teror mental kepada manusia.” Ujar beliau.
Dalam tujuh belas cerpen ini Putu Wijaya
memperlihatkan arah perkembangan yang baru. Beliau sengaja membuat antologi
yang berbeda, seperti judul yang mudah diingat karena hanya menggunakan satu
kata, seperti Maaf, Boikot, Roh, Babi, Takut dan lain-lain. Dunia kenyataan
serta dunia impian dalam antologi cerpen ini menyatu dan tidak jelas
batas-batasnya. Cerpen-cerpen Putu Wijaya mengingatkan kita kepada dunia
dongeng. Berbagai tema dalam cerpen-cerpennya berusaha mengungkapkan kenyataan
secara lain, tidak realistis, tetapi bagaimanapun anehnya kita merasakan
sebagai dunia dunia kenyataan yang pernah kita rasakan dan pikirkan, namun tak
sempat kita hayati secara lebih intens. Semuanya diungkapkan Putu dengan
caranya sendiri tanpa bunga-bunga kata.
Fokus kritik pada antologi cerpen ini
dilihat dari unsur eksterinsiknya. Karena dilihat dari unsur maknanya
keseluruhan dari antologi cerpen ini mengarah atau menyinggung tentang
kehidupan pribadi. Karena pengarang mengambil makna cerita tersebut dari
kehidupan sehari-hari, jadi secara tidak langsung pembaca akan merasa tersentil
dan tersentuh dengan makna dari cerpen itu.
Namun alam cerpen “babi” lebih mengarah kepada kritikan terhadap
pemerintah. Tafsiran “babi” sebagai makian terhadap perpolitikan dapat
diperoleh dari penggabungan bahasan politik dalam cerpen ini dengan ungkapan
“babi” sebagai ekspresi kekecewaan atas pemotongan tangan yang tidak sesuai
dengan keinginan tokoh penderita (pasien). Melainkan ia telah dipengaruhi oleh
dokter bedah.
“Kelihatannya
saja tangan kanan saudara yang salah. Tapi sebetulnya tangan kiri saudara. Ini
politik. Tangan kiri saudara iri kepada tangan kanan yang pakai jam dan cincin
kawin. Lalu ia mencoba membuat sabotase. (Wijaya, 1982: 13)”
………………………………………………………………………………………………
“Pasien ini tampak memusatkan pikirannya
keatas kertas itu. Mukanya tampak lebih banyak mengucurkan keringat. Tubuhnya
gemetar. Lalu tiba-tiba saja ia membaca kertas ini dengan sura yang
menggeledak. “Babi!”. (Wijaya, 1982: 14)”
Kutipan
diatas menunjukkan bahwa, adanya aksi politik yang dilancarkan oleh sang
dokter. Bahkan mampu membuat penderita mengikuti kata-kata sang dokter justru
membuatnya kecewa. Sehingga Ia menjadi benci setengah mati dengan politik.
Uraian tersebut menyebutkan kata “babi” yang berulang-ulang ditulus oleh
penderita. Bahkan dibacanya dengan suara menggeledak setelah kecewa karena ulah
politik sang dokter, merupakan cemoohan atau makian terhadap panggung politik
yang tidak berperikemanusiaan.
Berbeda dengan cerpen “babi”, di dalam
cerpen “takut” lebih memperlihatkan tentang kejadian yang terjadi di dalam
kehidupan sehari-hari. Seperti halnya masalah dan kekhawatiran seorang ayah
jika melihat anak perempuannya yang mengikuti perkembangan jaman atau pergaulan
kekinian. Dalam cerpen “takut” lebih menyoroti tentang percakapan antara ayah
dan anak. Seperti dialog Lila dan ayahnya pada cerpen “Takut”. Ayahnya tak suka
melihat putrinya pulang larut malam untuk kesekian kalinya dan diantar pulang
oleh lawan jenis. Lebih tak suka lagi ketika menyaksikan putrinya berciuman di
depannya tanpa rasa malu. Ketika itu ayahnya merasa tak dihargai. Ayahnya ingin
sekali menegur namun ia tak mau dikatakan orang tua yang kolot dan terlalu
menekan anak. Tetapi disisi lain ia juga tersinggung dan malu melihat kelakuan
putrinya. Lalu setelah berbagai pertimbangan masuklah ia ke dalam kamar Lila
dan memberi nasihat layaknya seorang ayah.
Dialog bertambah menarik ketika Lila
bersikeras dengan pendapatnya bahwa berciuman adalah hal yang biasa sedangkan
ayahnya bersemangat mengeluarkan uneg-uneg perihal sikap Lila dalam bergaul
yang menurutnya sudah melewati batas wajar. Namun karena ayahnya bicara
bertele-tele membuat Lila menanggapinya dengan dingin.
“Masak
di depan papa kamu berciuman begitu dengan teman-temanmu. Papa bukan orang
kolot dalam hal ini. Tapi kan itu bukan pacar Lila. Kalau toh pacar, mengapa
harus melakukan itu di depan papa?” Laila berhenti mengisi teka-teki. “Laila
jadi tidak mengerti. Itu kan hal biasa Pa.” (Wijaya, 1982: 31-32)
Kutipan tersebut menjelaskan rasa khawatir yang
dialami Papa Lila karena berciuman merupakan hal yang biasa bagi Lila. Seorang
Papa yang tidak ingin dianggap kolot namun dia juga merasa bingung jika tidak
diberitahu akan semakin membuat Laila semakin berlebihan. Sedangkan Lila adalah
seorang gadis yang terbawa arus pergaulan modern. Hal tersebut sering di temui
dalam kehidupan nyata. Dijaman sekarang yang sudah masuk ke dalam arus
globalisasi, pergaulan anak-anak juga ikut dari imbas tersebut. Orang tua
merasa resah karena takut jika sang anak yang beranjak dewasa terpengaruh
dengan pergaulan bebas.
Terdapat
Konflik batin yang dirasakan oleh Papa Lila. Malam itu ia jengkel melihat Lila
yang tertidur tanpa merasa bersalah. Ia taklagi mau menyelimuti putrinya,
menutup jendela, menyalakan obat nyamuk, atau mencopot sepatu yang dipakai Lila
saat tidur. Ia merasa harga dirinya bangkit. Ia takingin kehilangan wibawa
seorang ayah. Saat pagi istrinya memergoki ia bergegas pergi ke kantor lebih
awal. Istrinya mengatakan bahwa ia mengerti keadaan perasaan suaminya yang
tiba-tiba menjadi sangat pendiam. Istrinya menyaksikan ketika ia menasehati
Lila, lalu memutuskan tidur di sofa, mandi dan sarapan secara sembunyi-sembunyi
karena takmau bicara dengan istri dan anaknya. Pada saat itu ia benar-benar
membutuhkan ketenangan dan istrinya mengijinkan ia pergi kemana pun yang bisa
memberikan ia ketenangan.
Semua yang terdapat dalam antologi
“Gres” diungkapkan Putu dengan caranya sendiri tanpa mengindahkan kata-kata.
Putu berusaha menyampaikan pesan dalam ceritanya dengan tidak menggurui namun
pembaca sendiri yang akan mengakui kebenaran-kebanaran itu. Semacam teror
mental yang membuat pembaca merenungi pemikiran atau fenomena yang pernah
terjadi. Berbagai efek menyerang pembaca cerpen Putu. Pembacanya akan merasa
disentil barangkali dengan sedikit senyum, gelengan dan anggukan. Terkadang
cerpen Putu terkesan "meledek" pemikiran atau fenomena yang terjadi
di masyarakat lalu membungkusnya dalam sebuah cerita secara apik.
UNSUR INTRINSIK
YANG TERDAPAT PADA CERPEN “BABI”
Antologi Cerpen “Gres”
Karya Putu Wijaya
Di dalam antologi “Gres” terdapat
berbagai tema dalam cerpen-cerpennya dan berusaha mengungkapkan dunia kenyataan
yang tidak realitas, tetapi anehnya dapat dirasakan oleh pembaca sebagai dunia
kenyataan yang pernah dirasakan dan dipikirkan. Namun sebagian besar para
pembaca tidak sempat menghayatinya secara intens. Putu Wijaya sengaja melakukan
hal tersebut karena ingin membawa pembaca kembali ke dalam kesadaran tersebut.
Selain itu Putu juga berusaha menyentakkan ke dunia yang lain, aneh, sulit
dipahami dan mengejutkan. Seperti halnya di dalam cerpen “babi” yang
menceritakan seseorang yang setiap menuliskan namanya selalu babi.
Dalam cerpen “babi” menceritakan
seorang laki-laki yang merasa tidak nyaman dengan tangan kanannya yang memiliki
ideologi berbeda dengannya. Ia telah mengunjungi beberapa ahli ilmu jiwa, namun
semuanya tidak membuahkan hasil. Dia juga pernah datang ke rumah seorang
Ulama’, namun bukannya diberikan pengobatan justru hanya disuruhnya istirahat.
Akhirnya dia datang ke dokter bedah. Disitu dia menceritakan semuanya tentang
keluhan yang dialaminya. Namun seorang laki-laki tersebut terkejut bahwa
ternyata dokter itu menginginkan tangan kirinya yang harus dipotong. Alasan dokter
kenapa harus tangan kiri yang dipotong karena tangan kiri laki-laki tersebut
iri dengan apa yang selalu dukenakan tangan kanan setiap harinya. Hingga
akhirnya dokter itu memaksanya untuk menulis namanya sendiri. Dengan rasa takut
seorang laki-laki tersebut menolak ajakan dokter itu. Hingga akhirnya laki-laki
tersebut mau menulis namanya yang bertuliskan “ANWAR”. Dokter itu pun senang
dan menyuruhnya untuk membaca tulisannya tersebut. Namun laki-laki tersebut
membacanya dengan suara kencang “BABI”.
Penggunaan gaya bahasa yang
digunakan pada cerpen “babi” sulit dipahami dan bahasanya cenderung kasar.
Dalam bahasa Jawa kata “babi” adalah “celeng”, yang sering digunakan sebagi
makian terhadap sesuatu atau seseorang yang tidak disukai. Selain itu terdapat kata-kata
kasar lain yaitu seperti “bosok” yang dalam bahasa Jawa adalah “busuk”. Dalam
bahasa Jawa “bosok” merupakan salah satu kata yang sangat kasar jika di ucapkan
atau ditujukan kepada seseorang. Sebab kata tersebut sering digunakan untuk
makanan atau buah-buahan yang sudah basi atau membusuk.
Gaya bahasa yang terdapat dalam
cerpen “babi” tidak rasional atau sulit diterima akal pikiran. Dalam serita
tersebut dijelaskan seorang yang ingin memotong tangan kanannya karena dia
bermusuhan dengan tangannya yang dapat memberontak dan memiliki perbedaan
ideologi. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut.
“Dokter,
ujarnya dengan terharu, saya sudah memutuskan untuk berpisah dengan tangan ini.
Ideologi kami tidak lagi sama. Daripada saya bosok dan diganggu terus, lebih
baik saya putuskan sekarang. Saraf saya tak kuat lagi untuk menerima
pemberontakannya. Saya minta dokter sudi memotong tangan ini .”
(Wijaya, 1982:11).
Secara
logika tangan selalu dikendalikan oleh pikiran, sehingga tidak mungkin tangan
memberontak dan bahkan sampai memiliki perbedaan ideologi dengan pemiliknya.
Selain itu dia sering menghindar jika harus disuruh menuliskan namanya, karena
ketika dia menulis namanya dia mengucapkannya dengan suara kencang, yaitu
“babi”. Padahal seorang dokter yang menyuruhnya menulis nama melihat bahwa yang
dia tulis adalah namanya, yaitu Anwar.
Tokoh seorang laki-laki yang bernama
Anwar tersebut memiliki sifat ketidak puasan terhadap sesuatu ataupun orang
lain. Di awal cerita dia merasakan ketidak puasan kepada orang lain. Ketidak
puasan tersebut terdapat pada kutipan berikut.
“Ia
telah mengunjungi ahli ilmu jiwa, tetapi tak mendapatkan hasil yang ia
inginkan. Ia juga sudah datang kedepan seorang ulama, tetapi ia hanya
dinasehati supaya beristirahat. Padahal ia yakin bahwa mungkin sekali ia sedang
berubah menjadi gila” (Wijaya,
1982:11).
Dapat
dilihat betapa kecewanya seseorang tersebut yang menganggap penting suatu
persoalan, namun hanya diberi solusi yang tidak memuaskan. Bahkan hanya
mengulur permasalahan menjadi lebih panjang.
Selain
itu rasa tidak puas juga dia alami ketika tokoh Anwar datang ke dokter
bedah. Seseorang yang berkali-kali
mencoba menuliskan namanya namun justru kesleo menjadi “babi” karena tangannya
teah menganut ideologi lain. Selain itu dengan pembacaan hasil tulisannya oleh
dokter setelah oprasi. Sang dokter membacanya “Anwar”, namun ternyata si pasien
masih membacanya “babi” bahkan dengan suara yang menggeledak. Itu adalah
ekspresi kekecewaan yang paling besar karena ia telah terbawa ajakan sang
dokter.
“Hampir
sepuluh menit lamanya, baru tangan itu menilis ANWAR. Dokter itu manarik nafas
dengan lega sekali. Ia menoleh ke pasiennya. Orang itu tampak berkeringat.
Seluruh mukanya basah. Matanya masih terpejam……… Pasien itu nampak memusatkan
pikiranya ke atas kertas itu. Mukanya tampak lebih banyak mengucurkan keringat.
Tubuhnya gemetar. Lalu tiba-tiba saja ia membaca kertas itu dengan suara yang
menggeledak. “Babi!” (Wijaya,
1982:14).
Latar yang tedapat dalam cerita
tersebut berada di dalam rumah sakit dan lebih tepatnya diruang operasi. Namun
latar yang lebih dominan berupa latar suasana yang dapat membuat nuansa cerita
seperti mengambang dan pembaca dapat terbawa dalam suasana yang aneh karena
diluar nalar manusia. Suasana yang bisa dikatakan menjadi teka-teki dan secara
tiba-tiba berubah sesuai alur. Seperti yang terdapat pada kutipan berikut.
“Dokter
itu tiba-tiba tersenyum. Ia segera memegang tangan itu dengan gairahnya.
Sebelum penderita itu sadar ia cepat mengikat tangan itu dan segera mengambil
alat untuk memotongnya. Penderita itu tentu saja terkejut. (Wijaya, 1982: 12).
Kutipan
tersebut menjunjukkan adanya hal yang disembunyikan, yaitu sebuah peristiwa
pemotongan tangan yang disembunyikan pada senyum sang dokter. Suasana yang
seharusnya dapat menjadi mencekam karena akan terjadi pemotongan tangan, namun
mengalir saja tanpa disadari, bahkan oleh tokoh dalam cerpen tersebut.
BABI
Karya Putu
Wijaya
Setiap kali hendak menulis namanya
sendiri, tangannlya selalu keseleo dan menulis kata “babi”. Ia jadi dongkol
sekali. Ia ltelah mengunjungi seorang ahi ilmu jiwa, tetapi tidak mendapatkan
hasil yang ia inginkan. Ia juga sudah datang ke depan seorang ulama, tetapi ia
hanya diasihati seupaya beristirahat. Padahal, ia yakin benar bahwa mungkin
sekali ia sedang berubah untuk menjadi gila.
Akhirnya ia datang ke dokter bedah.
“Dokter,” ujarnya dengan terharu,
“saya sudah memutuskan luntuk berpisah dengan tangan ini. Ideologi kami tidak
sama lagi. Daripada saya bosok dan diganggu terus, lebih baik saya putuskan
sekarang. Saraf saya tak kuat lagi untuk menerima pemberontakannya. Saya minta
dokter sudi memotong tangan ini.”
Dokter itu seorang yang penuh pengertian. Ia
mendengarkan dengan tenang, seakan-akan ia sudah seringkali memotong tangan
orang tanpa alasan-alasan medis. Ia hanya tampak ragu-ragu, apakah ia akan
emotong yang kanan atau yang kiri. Pemilik tangan itu sendiri yakin bahwa
tangan kanannyalah yang telah berontak, karena itulah yang dipakai untuk menulis.
“Jangan terburu nafsu,” kata
dokter, “Kita jangan melupakan faktor-faktor sampingan. Kalau tangan Saudara
ini memang telah nekat untuk menganut ideologi yang berbeda, tak akan mungkin
ia bertindak dengan serampangan. Saya khawatir kalau ia hanya sekadar
pancingan.”
Penderita itu tercengang.
“Maksud dokter?”
“Maksud saya adalah bahwa,
janganlah Anda begitu cepat untuk terpancing. Berpikirlah sejenak dan renungkan
apa yang hendak Anda lakukan. Jangan berkata-kata lagi. Anda relaks saja
dahulu. Saya akan berikan waaktu seperempat jam. Kemudian saya akan kembali.
Sesudah itu, kita pastikan aoa yang akan kita lakukan. Ketahuilah. Tak ada yang
sulit untuk dilakukan. Saya sudah memotong ribuan tangan orang. Saya berani
melakukan itu semua. Saya Cuma tak kuat kalau pada akhirnya saya harus
berhadapan dengan orang yang menyesal. Saudara mengerti apa yang saya katakan?”
Penderita itu tidak begitu
mengerti. Tetapi ia menurut.
Selama seperempat jam kemudian ia
duduk beristirahat, memikirkan tingkah laku tangannya. Ia perhatikan tangan
itu. Ia bertambah yakin lagi bahwa ia harus berpisah. Lalu dibukanya jam
tangannya. Dibukanya cincinnya. Semua barang-barang itu dipindahkannya ke
tangan kiri. Sesudah itu ia duduk dengan tenang.
Waktu dokter datang, ia segera
mengulurkan tangan kanannya. “Saya kira tak ada jalan lain harus dipotong
dokter,” ujarnya. Dokter memandangi tangan itu dengan hati-hati.
“Ada sesuatu yang lain pada tangan
ini sekarang,” ujarnya.
Penderita itu tertawa.
“Tentu saja dokter, sebab jam tangan dan cincin sudah saya copot.”
“Kenapa?”
“Kan tangan ini mau dipotong?”
“Lalu di mana jam dan cincin itu?”
Penderita itu mengulurkan tangan
kirinya.
“Di sini dong!”
Dokter itu tiba-tiba tersenyum. Ia
segera memegang tangan itu dengan gairahnya. Sebelum penderita itu sadar, ia
cepat mengikat tangan itu dan segera mengambil alat untuk memotonya. Penderita
itu tentu saja terkejut.
“Dokter mau memotong tangan kiri
saya?”
“Ya.”
“Kenapa?”
Dokter meletakkan telunjuknya di
mulut, “sst!”
Penderita itu menggeleng.
“Kenapa mesti sst?”
“Sudahlah diam dulu, ini politik!”
“Politik bagaimana?”
Dokter mendekatkan mulutnya ke
telinga penderita itu, lantas berbisik, “kelihatannya saja tangan kanan Saudara
yang salah. Tapi sebetulnya tangan kiri Saudara. Ini politik. Tangan kiri
Saudara iri kepada tangan kanan yang pakai jam dan cincin kawin. Lalu ia
mencoba membuat sabotase. Sementara Saudara menulis ia menutup muka saudara,
lalu menggosok tulisan itu menjadi, menjadi apa biasanya yang dia tulis?”
“Babi.”
“Ya babi.’
“Tapi Dokter.”
“Oke, mari kita coba sekarang!”
Dokter itu kemudian mengambil
kertas dan pulpen.
“Sekarang coba tulis nama Anda.”
Penderita itu menggeleng. Dokter
menepuk-nepuk pundaknya.
‘Jangan takut, ini bukan
eksperimen, ini hanya untuk bukti saja sehingga Saudara rela untuk menolong
tanga kiri itu. Ayo coba!”
Ia segera menggenggamkan pulpen itu
di tangan kanan penderita.
“Tulislah sekarang nama Anda!”
Penderita itu menggeleng.
“Kenapa?”
“Nggak mau!”
“Ayo coba dong, jangan seperti anak
kecil!”
Dokter itu membujuk-bujuk. Akhirnya
orang itu mau juga menulis. Tapi ia kelihatan terpaksa sekali. Ia memejamkan
matanya. Tangannya bergerak dengan lambat. Tetapi jari-jari tangan itu tampak
kaku. Urat-uratnya keluar. Dokter itu memperhatikan dengan takjub. Ia seperti
melihat sebuah pertempuran. Tetapi ia seorang yang sabar.
Hampir sepuluh menit lamanya, baru
tanga itu berhasil menulis : ANWAR. Dokter itu menarik nafas dengan lega
sekali. Ia menoleh ke pasiennya, Orang itu tampak berkeringat. Seluruh mukanya
basah. Matanya masih terpejam. Dokter itu segera mengambil sapu tangan. Ia
mengusap muka pasiennya.
Ia juga sempat mengambil air dan
memberi minum penderita itu. Aneh sekali matanya masih tetap tertutup. Dokter
kemudian menepuk-nepuk pundaknya.
“sudah, sudah, semuanya sudah
selesai. Sekarang buka matanya.”
Penderita itu membuka matanya perlahan-lahan.
Ia tampak lelah sekali. Dokter lalu mengambil kertas dan menunjukkan kepada
orang itu. Ia tersenyum simpul.
“Coba baca,” kata dokter dengan
bangga.
Pasien itu diam saja.
Dokter segera menyalakan lampu,
sehingga kertas itu jadi lebih terang.
“Coba baca dong,” kata dokter
dengan nada kemenangan.
Pasien itu masih diam-diam saja.
“Ayo baca!”
Pasien itu tampak memusatkan
pikirannya ke atas kertas itu. Mukanya tampak lebih banyak mengucurkan
keringat. Tubuhnya gemetar. Lalu tiba-tiba saja ia membaca kertas itu dengan
suara yang menggeledek.
“Babi!”
Perjalanan
Berliku Dalam Bahtera Cinta
Empat Kumpulan Sajak Karya W.S
Rendra
Rendra adalah anak dari pasangan R.
Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya
adalah seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya
adalah penari serimpi di Keraton Surakarta
Hadiningrat.
Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya. Bakat
sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika beliau duduk di bangku SMP. Saat itu beliau
sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek, dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis,
ternyata beliau juga piawai di atas panggung. Beliau mementaskan beberapa
dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat. Pertama
kali beliau mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui
majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi
berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan
Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah
pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun '60-an dan tahun '70-an.
Pada usia 24 tahun, beliau menemukan
cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31
Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Theodorus Setya Nugraha, Andreas
Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Clara Sinta. Romantisme percintaan
mereka memberi inspirasi Rendra sehingga lahir beberapa puisi yang kemudian
diterbitkan dalam satu buku Empat
Kumpulan Sajak. Setelah menikah, WS Rendra bukannya menutup hati, ia malah
kepincut dengan salah satu muridnya di Bengkel Teater yang bernama Bendoro
Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat yaitu putri Keraton Yogyakarta yang sering
maindan belajar di teater Rendra. Rendra ternyata tak puas hanya dengan dua
istri, naluri kejantanannya bertingkah lagi dengan menikahi seorang gadis
bernama Ken Zuraida, akan tetapi pernikahan ketiganya ini harus dibayar mahal
dengan mengorbankan dua istri terdahulunya yaitu Sitoresmi dan Sunarti. WS
Rendra harus rela menceraikan dua istrinya ini pada tahun 1979 karena tak
menyetujui Rendra memiliki istri ketiga.
Kisah kehidupan yang dialami WS
Rendra pun dituangkannya ke dalam sebuah buku yang bernama Empat Kumpulan Sajak. Sajak yang pertama adalah Kakawin kawin yang terdapat dua sub
judul, yaitu Romansa (11 sajak) dan Ke Altar dan Sesudahnya (9 sajak). Sajak
yang kedua adalah Malam Stanza yang
terdapat 29 judul puisi. Sajak yang kedua adalah Nyanyian Dari Jalanan yang terdapat lima sub judul, yaitu Jakarta (4 sajak), Bunda (1 sajak), Lelaki
(7 sajak), Nyanyian Murni (7 sajak),
dan Wanita (3 sajak). Sajak-sajak
Rendra dalam Empat Kumpulan Sajak memiliki tema besar, yaitu hubungan
cinta lelaki dan perempuan. Tema ini sangat kentara dalam dua kumpulan sajak
pertama yang berjudul Kakawin Kawin dan Malam Stanza. Sedangkan
dalam dua kumpulan sajak yang lain, Nyanyian dari Jalanan dan,
khususnya, Sajak-Sajak Dua Belas Perak, isi sajak sudah melebar ke tema
sosial. Berbeda dengan Malam Stanza
yang berbicara kekasih namun dengan jangkauan lebih luas lebih luas di
bandingkan Kakawin Kawin yang dibicarakan hanya hubungan kekasih yang
bersifat naturalis.
Sifat naturalis yang terdapat dalam
sajak Kakawin Kawin sangat jelas
terlihat. Rendra menggunakan sifat yang naturalis karena pencitraan tersebut
dapat memberian kesan romantis. Misalnya beberapa gerak fauna dipakai untuk
mengambarkan hubungan dan perasaan; “Dua ekor belibis bercintaan dalam kolam”,
“Engkau adalah putri duyung tergolek lemas mengejap-kejapkan matanya yang indah
dalam jaringku”, “kupacu kudaku menujumu”. Penggunaan gaya kata tersebut
digunakan Rendra untuk lebih memperkuat kesan romantis dan daya tarik
tersendiri yang terdapat dalam isi sajaknya. Misalnya lagi, citra tumbuhan dan
bulan muncul berulang kali; “alang-alang dan rumputan bulan mabuk di atasnya”,
“pohon jambu di halaman itu berbuah dengan lebatnya”,” ..di balik semak itu sedang
bulan merah mabuk”, “tujuh pasang mata peri terpejam di pohonan”, “sebuah
pasangan telah dikawinkan bulan”, “ketika bulan menjenguknya”, dan lain-lain. Penggunaan
gaya kata tersebut tentu saja sangat mempengaruhi pembaca dalam memahami sajak
Rendra. Salah satunya adalah munculnya kesan pedesaan yang sangat kental pada
puisi-puisi Rendra dalam kumpulan sajak tersebut.
Namun alur yang dipakai Rendra mudah
ditebak dan secara umum keseluruhan teks sajak yang disatukan itu nada-nadanya
mengalir dengan irama yang pasti. Sesudah menulis surat cinta, lelaki melamar
perempuan idamannya, lalu menyebarkan undangan dan menikahlah pasangan itu di
gereja yang diberkahi malaikat. Kemudian pergilah mereka menikmati ranjang,
bernyanyi, dan meraba masa depan bersama. Urutan alur tersebut terdapat pada
judul sajak Surat Cinta, Surat Kepada
Bunda: Tentang Calon Menantunya, undangan, Nyanyian Para Malaikat, Ranjang
Bulan Ranjang Pengantin, dan Nyanyian Pengantin. Meskipun
dari segi alur mudah di tebak, namun puisi-puisi Rendra didominasi kesan penuh
semangat, terutama dalam hal hubungan percintaan. Hal lain yang cukup menarik adalah
kujujuran dan ketulusan perasaan-perasaan cinta di beberapa puisinya, misalnya
di Episode, Surat Kepada Bunda: Tentang
Calon Menantunya, Kakawin Kawin, dan Ranjang Bulan Ranjang Pengantin.
Ketika Rendra hendak menikahi Bendoro Raden Ayu
Sitoresmi Prabuningrat, beliau berada pada suatu pilihan sulit, yaitu penolakan ayahanda
Sitoresmi yang tidak menyetujui pernikahannya karena perbedaan agama, Rendra
Katolik sedangkan Sitoresmi Islam. Namun akhirnya Rendra rela melepas agamanya
dan masuk kedalam agama baru yakni agama Islam. Meskipun Mualafnya Rendra
mendapatkan komentar sinis dari berbagai publik, namun Rendra mengungkapkan
bahwa dirinya tertarik Islam sudah cukup lama dan menurutnya Islam telah
berhasil menjawab kegalauan dirinya akan hakekat Tuhan. Hal tersebut terlihat
dalam puisinya yang berjudul Nyanyian
Para Malaikat. Terdapat pada kutipan berikut.
Tuhan Allah Yang Esa
yang selalu dipuja
dalam mazmur bani Israel,
akan menyatukan dua remaja
dalam pelukan cintanya.
Dalam puisinya yang berjudul Nyanyian Para Malaikat, Rendra memberikan nuansa Katolik, seperti
halnya terdapat kata “gereja”, “misa” dan “anggur”. Hal tersebut terlihat jelas
bahwa puisi tersebut merupakan penggambaran dari kisah yang dialami Rendra di
saat menikah dengan istri keduanya yang menjadikannya seorang mualaf. Rendra
mengkombinasikan kedua agama yaitu Islam dan Katolik ke dalam puisinya. Karena
dalam pernikahan keduanya tersebut dia memeluk agama baru dan melepas agama
lamanya.
Dapat disimpulkan bahwa buku Empat kumpulan sajak merupakan suatu gambaran kisah perjalanan
seorang WS Rendra. Sedangkan sajak yang berjudul Kakawin kawin menggambarkan tentang liku-liku percintaan awal yang
dialami Rendra hingga dia rela berganti agama. Sajak yang dikemas Rendra dengan
sifat naturalis memberikan kesan keindahan bagi para pembacanya.
ANALISIS UNSUR INTRINSIK PUISI SERENADA
KELABU
Empat
Kumpulan Sajak Karya W.S. Rendra
Terciptanya buku Empat Belas Sajak ini dari pengalaman
cinta yang dialami Rendra. Romantisme percintaan memberi inspirasi kepada Rendra sehingga lahir beberapa
puisi yang kemudian diterbitkan dalam satu buku Empat Kumpulan Sajak. Terdapat empat sajak yang terdapat dalam buku
tersebut, diantaranya Kakawin kawin yang terdapat dua sub judul. Sajak yang kedua adalah Malam Stanza yang terdapat 29 judul
puisi. Sajak yang ketiga adalah Nyanyian Dari
Jalanan yang terdapat lima sub judul dan Wanita. Sajak-sajak Rendra dalam Empat Kumpulan Sajak
memiliki tema besar, yaitu hubungan cinta lelaki dan perempuan. Tema ini sangat
kentara dalam dua kumpulan sajak pertama yang berjudul Kakawin Kawin dan
Malam Stanza. Sedangkan dalam dua kumpulan sajak yang lain, Nyanyian
dari Jalanan dan, khususnya, Sajak-Sajak Dua Belas Perak, isi sajak
sudah melebar ke tema sosial. Berbeda dengan Malam Stanza yang berbicara kekasih namun dengan jangkauan lebih
luas lebih luas di bandingkan Kakawin Kawin yang dibicarakan hanya
hubungan kekasih yang bersifat naturalis.
Dalam sajak yang pertama yaitu Kakawin kawin terdapat salah satu judul
puisi yang akan saya fokuskan dalam mengkritik unsur intrinsiknya, yaitu Serenada Kelabu. Terdapat beberapa
kelemahan yang terdapat dalam puisi tersebut, antara lain makna dari puisi yang
mudah di tebak, penggunaan gaya bunyi dan tipografi. Tema dari puisi Serenada Kelabu ini adalah kerinduan
yang mendalam dalam diri seseorang. Dapat dilihat dari kutipan puisi tersebut
yaitu "Ingin ku dengar berita
mu". Pada kutipan tersebut merupakan penguatan makna yang terdapat
dalam puisi Serenada Kelabu yang
berarti kerinduan dalam diri seseorang. Karena kutipan tersebut terletak dalam
awal bait, jadi pembaca dapat dengan mudah menebak maksud dari penulis.
Selanjutnya adalah gaya bunyi, yang
merupakan penggunaan bunyi-bunyi
tertentu untuk mendapatkan efek tertentu, yaitu efek estetis. Dalam puisi Serenada Kelabu karya WS Rendra terdapat gaya bunyi
yang berupa rima. Rima Rima adalah
pengulangan bunyi untuk membentuk keindahan bunyi. Dalam puisi Serenada Kelabu ini, Rendra juga bermain
dengan bunyi untuk mencapai keindahan. Seperti pada bait berikut ini, Rendra
memanfaatkan rima akhir –an untuk menambah nilai estetis puisi. “Ketika melewati rumputan, terbayang segala
kenangan.” Namun dalam bait yang pertma, Renda tidak memeperhatikan
penggunaan rima yang bersajak akhir sama. Terdapat pada kutipan puisi berikut;
Bagai daun yang melayang.
Bagai burung dalam angin.
Bagai ikan dalam pusaran.
Ingin kudengar beritamu!
Pada kutipan berikut tidak terdapat
rima yang bersajak sama, hal tersebut akan mempengaruhi keindahan bunyi pada
puisi tesebut. Selain itu tidak terdapatnya sajak akhir yang sama akan
mengganggu penggunaan bunyi yang menggunakan efek tertentu. Jadi, akan lebih
baik lagi jika rima pada puisi tersebut memiliki sajak akhir yang sama.
Selain itu terdapat kelemahan yang
terdapat pada puisi Serenada Kelabu karya
WS Rendra, yaitu tipografi. Tipografi adalah penataan bentuk
larik / baris dalam puisi yang dapat menambah aspek kekuatan makna dan ekspresi
pengarang. Dalam hal ini, puisi Serenada Kelabu memiliki tipografi atau bentuk yang
biasa, Rendra tidak melakukan eksperimen pada bentuk puisi. Namun isi dan unsur
lain yang terkandung dalam puisi ini sudah cukup untuk menjadi kekuatan makna
dan ekspresi Rendra.
Dalam buku Empat kumpulan sajak merupakan suatu gambaran kisah perjalanan
seorang WS Rendra. Sajak yang berjudul Kakawin
kawin menggambarkan tentang liku-liku percintaan awal yang dialami Rendra
hingga dia rela berganti agama. Sajak yang dikemas Rendra dengan sifat
naturalis memberikan kesan keindahan bagi para pembacanya. Namun masih
terdapat beberapa kekurangan yang terdapat dalam puisi Rendra tersebut,
diantaranya pada puisi Serenada Kelabu. Dalam
puisi tersebut terdapat beberapa kekurangan, diantaranya makna dari puisi yang mudah di tebak,
penggunaan gaya bunyi dan tipografi yang masih sangat sederhana.
SERENADA KELABU
Bagai daun yang melayang.
Bagai burung dalam angin.
Bagai ikan dalam pusaran.
Ingin kudengar beritamu!
Ketika melewati kali
terbayang gelakmu.
Ketika melewati rumputan
terbayang segala kenangan.
Awan lewat indah sekali.
Angin datang lembut sekali.
Gambar-gambar di rumah penuh arti.
Pintu pun kubuka lebar-lebar.
Ketika aku duduk makan
kuingin benar bersama dirimu.
DAFTAR
PUSTAKA
Lubis,
Mochtar. 2003. Harimau! Harimau!.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wijaya,
Putu. 2005. Gres. Jakarta: Balai
Pustaka.
Rendra
W.S. 2004. Empat Kumpulan Sajak. Jakarta:
PT. Surya Multi Grafika.
Al-Ma’ruf,
Ali Imron. 2009. Stilistika Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika
Bahasa. Surakarta: CakraBooks.
Al-Ma’ruf,
Ali Imron. 2008. Stilistika Sebuah Pengantar. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar