Iklan

Selasa, 07 Februari 2017

Kumpulan Kritik Karya Sastra



Permasalahan Sosial dalam Novel Harimau! Harimau!
Karya Mochtar Lubis

Mochtar Lubis (lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922 – meninggal di Jakarta, 2 Juli 2004 pada umur 82 tahun) adalah seorang jurnalis dan pengarang ternama asal Indonesia. Sejak zaman pendudukan Jepang ia telah dalam lapangan penerangan. Ia turut mendirikan Kantor Berita ANTARA, kemudian mendirikan dan memimpin harian Indonesia Raya yang telah dilarang terbit. Ia mendirikan majalah sastra Horizon bersama-sama kawan-kawannya. Pada waktu pemerintahan rezim Soekarno, ia dijebloskan ke dalam penjara hampir sembilan tahun lamanya dan baru dibebaskan pada tahun 1966. Pemikirannya selama di penjara, ia tuangkan dalam buku Catatan Subversif (1980).
Harimau! Harimau! adalah sebuah novel Indonesia yang ditulis oleh Mochtar Lubis dan diterbitkan tahun 1975. Ditulis di sebuah penjara di Madiun sebagai tanggapan kepada bangsa Indonesia mengenai kepemimpinan abadi Presiden Soekarno. Novel ini bercerita tentang tujuh pengumpul damar yang diserang oleh seekor harimau ketika pulang ke desanya dan gagal diselamatkan oleh pemimpinnya yang karismatik. Buku ini mendapat banyak pujian dan mendapat penghargaan Buku Terbaik dari Departemen Pendidikan dan Budaya RI. Novel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, dan Mandarin.
Ketika ia masih muda, Mochtar Lubis sering bertualang ke belantara Sumatera. Lubis kelak menulis bahwa dua peristiwa selama masa itu, yaitu melihat rumah bagus yang terabaikan dan bertemu dengan harimau, menjadi inspirasinya dalam penulisan Harimau! Harimau! Inspirasi lain berasal dari masa penahanannya, saat ia berpikir tentang kepemimpinan karismatik Soekarno maupun dukun tradisional serta kelemahan kekuatan seperti itu. Harimau! Harimau! banyak dipuji setelah diluncurkan. Novel ini mendapat penghargaan Buku Terbaik dari Yayasan Buku Utama, bagian dari Depdikbud RI, pada tahun 1975; pesan moralnya dianggap sebagai pelajaran berharga bagi kaum remaja. Tahun 1979, Harimau! Harimau! menerima penghargaan dari Yayasan Jaya Raya.
Dalam novel “Harimau! Harimau!” menceritakan tokoh “Buyung” seorang pemuda yang baru berumur 19 tahun, namun ia telah bekerja untuk mencari nafkah ke hutan belantara. Di hutan, ia tak sendiri, ada Wak Katok, Pak Haji, Pak Balam, Sutan, Sanip, dan Talib yang menemaninya. Mereka bertujuh pergi ke hutan untuk mengumpulkan damar. Perjalanan mereka yang diceritakan dalam novel kali ini merupakan suatu petualangan yang amat menegangkan. Buyung dan yang lainnya, dikejar-kejar oleh seekor harimau yang kelaparan. Berhari-hari mereka mencoba untuk menyelamatkan diri. Namun, satu persatu dari mereka menjadi korban. Tekanan pun mereka alami, karena ada ancaman harimau yang berada di depan mereka.
Dalam novel ini juga diceritakan dengan lengkap dan terperinci bagaimana watak dan kepribadian masing-masing tokoh. Disetiap tokoh memiliki kebaikan dan keburukan. Dalam novel ini diceritakan bahwa mereka bertujuh harus mengakui semua kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuat. Karena mereka menganggap harimau yang mengejar-ngejar mereka adalah seekor harimau siluman yang diutus Tuhan untuk membinasakan orang-orang yang berdosa. Namun, tak satupun dari mereka yang berani untuk menceritakan hal-hal buruk yang pernah mereka lakukan terhadap satu dan yang lainnya. Salah satu dari mereka menganggap, sebelum membunuh harimau yang memburu-buru mereka, yang tak kalah pentingnya adalah untuk membunuh terlebih dahulu harimau yang berada dalam diri sendiri.
Dalam novel tersebut tampak jelas permasalahan-permasalahan yang ada dalam kehidupan sosial, yaitu masalah kepemimpinan, masalah pernikahan dan masalah agama. tiga masalah ini adalah hal pokok dalam kehidupan sosial, berikut penjelasannya.
Permasalahan tentang kepemimpinan yang terdapat dalam novel Harimau! Harimau! yang tercermin dalam novelnya yaitu, lemahnya tugas kepemimpinan dalam kelompok. Pemimpin tidak mampu mengatur serta membina hubungan yang lebih baik dengan para anggota atau bawahannya. Begitu pula, dia tidak mampu melindungi anggota kelompoknya dari serangan lawan. Dia hanya mementingkan keselamatan dan kepentingan diri sendiri. Adapun yang menjadi penyebab terjadinya permasalahan demikian yaitu pemimpin bersifat lemah dan pura-pura. Kehebatan pemimpin hanya di mulut saja. Mulanya, memang dia dianggap sebagai pemimpin yang hebat dan berwibawa. Tetapi ketika dia dengan kelompoknya berada dalam suatu bahaya, dia tidak mampu menampakkan semuanya itu, sehingga anggota kelompok tidak hormat dan percaya lagi pada dirinya. Anggota kelompok berbalik menentang pemimpinnya.
Permasalahan tentang perkawinan yang terdapat dalam novel Harimau! Harimau! yaitu tidak adanya kebahagiaan dalam perkawinan. Latar belakang atau penyebab tidak adanya kebahagiaan dalam perkawinan karena suami sudah tua dan “lemah”, suami sibuk dan lama berada di luar rumah dan keterbatasan perekonomian suami dalam mencukupi kebutuhan rumah tangga. Akibat dari tidak adanya kebahagiaan dalam perkawinan dapat menimbulkan berbagai macam fenomena sosial. Baik yang berasal dari dalam diri, rumah tangga, maupun masyarakat. Dari dalam diri, seperti terjadinya berbagai macam gejala kejiwaan; berupa rasa benci, dendam, stress, dan sebagainya. Dari dalam rumah tangga, berupa pertengkaran, penyelewengan, dan sebagainya. Dari dalam masyarakat, lebih banyak lagi, di samping terbawa yang datang dari dalam diri dan rumah tangga, ditambah dengan sikap mengasingkan diri, meracuni diri, pemberontakan, dan sebagainya.
Masalah selanjutnya yaitu masalah agama. Dalam konteks ini adalah Islam, karena Mochtar Lubis adalah seorang muslim. Islam akan memberikan upah atau imbalan terhadap penganutnya yang taat, begitu sebaliknya, akan memberikan ganjaran atau balasan terhadap penganutnya yang tidak taat, baik di dunia maupun akhirat. Sebuah pencerminan dalam novel itu adalah menurut pengakuan Pak Balam, harimau yang mengejar-ngejar mereka adalah harimau kiriman Tuhan akibat dari perbuatan salah mereka selama ini. Dan mungkin secara tidak langsung memang benar adanya pengakuan itu, sebab mereka yang selamat dari terkaman harimau adalah mereka yang sadar akan salahnya. Islam pun berkata demikian bahwa orang yang salah kemudian bertaubat maka Tuhan akan membebaskan dia dari dosanya. Demikianlah masalah sosial yang tercantum dalam Novel itu.
Pemimpin yang lemah dan pura-pura tidak akan pernah bisa mencapai tujuan yang diinginkan oleh kelompok, yang muncul malah pertikaian anatara pemimpin dan yang dipimpin. Pernikahan tanpa landasan cinta tidak akan pernah menghadirkan sebuah kebahgian dalam rumah tangga namun yang terjadi malah sebaliknya yaitu kesengsaraan salah seorang diantara keduanya dan jika terus berlanjut,  berikut akan  diemban oleh keturunannya. Perbuatan dosa dalam beragama akan menyengsarakan diri sendiri baik didunia maupun di akhirat. Juga hal tersebut berakibat pada orang lain. Dan individualisme tinggi sangat iorang lain dalam kehidupan sosial. Jadi, hal-hal tersebut adalah hal-hal yang bakal merugikan kehidupan sosial.




Sinopsis Harimau Harimau karya Mochtar Lubis
Mereka kemudian kembali di tempat mereka bermalam, dengan hati yang lega Sanip dan Sutan menurunkan keranjang ke tanah, dan Buyung mengembalikan senapan kepada Wak Katok. Talib terlentang di atas tanah di dalam pondok karena diserang harimau. Dadanya hancur dicakar, pahanya hancur digigit sampai terbuka ke tulang. Di sampingnya terbaring Pak Balam yang kelihatannya demamnya bertambah panas, matanya terbuka memandang ke atas dan dengan suara lembut ia berkata “… Dosa,… Aku berdosa… mencuri… curiii, ampun Tuhan… La ilaha ill…” tiba-tiba nafasnya berhenti dan meninggal. Seorang dari mereka kini telah mati akibat serangan harimau yang menurut Pak Balam dikirim Tuhan untuk menghukum mereka.
            Akan tetapi mereka hendak hidup terus, mereka hendak keluar dari hutan, mereka hendak meninggalkan rimba dengan selamat.
“Apa Talib mencuri? Apa yang dicurinya?” kata Pak Haji memandang Sanip, Buyung dan Sutan berganti-ganti. Buyung menjawab : ”Aku tak tahu apa maksudnya”. Pak Balam berkata : “Belum juga kalian sadar dan insyaf. Talib telah mati Aku akan menyusulnya tak lama lagi. Aku tahu badanku tak kuat lagi menahan demam ini, akuilah dosa-dosa kalian supaya kalian diselamatkan Tuhan. Syukurlah Talib masih sempat mengakui dosa-dosanya. Tobatlah!”
Akan tetapi Sanip tak dapat menahan dirinya, dan berseru: “Memang kami berdosa”, Sutan berkuat pegangannya di bahu Sanip dengan suara keras berkata: “Sanip”. Akan tetapi Sanip melepaskan pegangan Sutan dari bahunya, dan kemudian dengan gerakan tangan dan kaki yang cepat Dia menjatuhkan Sanip ke atas tanah. Sanip menghela diri dan Sutan jatuh ke tanah. Di tanah mereka berdua bergumul. Selama itu terjadi Wak Katok duduk saja diam-diam memegang senapannya. Setelah mereka direlai, Buyung memegang Sutan dan Pak Haji memegang Sanip. Sanip bercerita: “Kami bertiga Talib, Sutan dan Aku, enam bulan yang lalu yang mencuri empat ekor kerbau Haji Serdang di kampong Kerambi, kami mencurinya malam-malam, ketika penjaga kerbau mengetahuinya Talib menikamnya hingga Dia rubuh. Dia tak mengenal kami, dan kami berhasil mencurinya. Itulah dosa kami bertiga”
            Setelah mereka sembahyang maghrib tak seorang juga hendak makan. Malam itu tak seorangpun dapat tidur, mereka selalu ingat kepada perkataan Wak Katok: “Esok pagi kita kuburkan Talib”. Dan sepanjang malam mereka duduk mengelilingi Talib, mendo’a dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an.
Dan di luar lingkaran cahaya di dalam gelap rimba belantara, mereka seakan merasakan kehadiran harimau yang ganas yangmondar-mandir, menggu kesempatan dengan tak sabar. Di dalam setiap kegelapan, di belakang setiap daun, di belakang setiap pohon, di belakang setiap dahan dan di belakang setiap bunyi mereka seakan mendengar bunyi tapak harimau yang melangkah dengan halus dan mendekati, mendekati, mendekati, mendekati….






Permasalahan Yang Nyata
                                       Antologi Cerpen: Gres Karya Putu Wijaya

Putu Wijaya, yang produktif bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya, lahir di Puri Anom, Saren, Kangin, Tabanan, Bali, 11 April 1944. Sejak duduk di SMP mulai menulis cerita pendek dan ketika di SMA Singaraja mulai terjun ke dalam kegiatan sandiwara. Tamat SMA masuk Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, meraih gelar Sarjana Hukum jurusan Perdata (1969). Sebelum hijrah ke Jakarta (1970) ia belajar melukis di ASRI dan drama di ASDRAFI Yogyakarta. Aktif dalam pementasan-pementasan drama Yogya, kemudian bergabung ke dalam Bengkel Teater pimpinan Rendra. Di Jakarta jadi pemain drama Kecil pimpinan Arifin C. Noer dan Teater Populair pimpinan Teguh Karya, kemudian mendirikan Teater Mandiri.
Ciri khas dari Putu Wijaya antara lain Meneror Mental Pembaca Lewat Karya. “Sebuah cerita pendek adalah bagaikan sebuah mimpi baik dan mimpi buruk. Tidak terlalu penting urutan, jalinan, karena kadang-kadang ada dan kadangkala tidak. Yang utama adalah pekabaran yang dibawanya, daya pukau, daya magis, ibarat, tikaman jiwa, firasat dan berbagai efek yang diberondongnya menyerang siapa saja yang mengalami mimpi itu. Ia bisa gamblang, jelas secara mendetail dan persis melukiskan apa yang terjadi, tetapi ia juga bisa kebalikan atau buram sama sekali sebuah ramalan yang memerlukan tafsir. Cerita pendek adalah teror mental kepada manusia.” Ujar beliau.
Dalam tujuh belas cerpen ini Putu Wijaya memperlihatkan arah perkembangan yang baru. Beliau sengaja membuat antologi yang berbeda, seperti judul yang mudah diingat karena hanya menggunakan satu kata, seperti Maaf, Boikot, Roh, Babi, Takut dan lain-lain. Dunia kenyataan serta dunia impian dalam antologi cerpen ini menyatu dan tidak jelas batas-batasnya. Cerpen-cerpen Putu Wijaya mengingatkan kita kepada dunia dongeng. Berbagai tema dalam cerpen-cerpennya berusaha mengungkapkan kenyataan secara lain, tidak realistis, tetapi bagaimanapun anehnya kita merasakan sebagai dunia dunia kenyataan yang pernah kita rasakan dan pikirkan, namun tak sempat kita hayati secara lebih intens. Semuanya diungkapkan Putu dengan caranya sendiri tanpa bunga-bunga kata.
Fokus kritik pada antologi cerpen ini dilihat dari unsur eksterinsiknya. Karena dilihat dari unsur maknanya keseluruhan dari antologi cerpen ini mengarah atau menyinggung tentang kehidupan pribadi. Karena pengarang mengambil makna cerita tersebut dari kehidupan sehari-hari, jadi secara tidak langsung pembaca akan merasa tersentil dan tersentuh dengan makna dari cerpen itu.  Namun alam cerpen “babi” lebih mengarah kepada kritikan terhadap pemerintah. Tafsiran “babi” sebagai makian terhadap perpolitikan dapat diperoleh dari penggabungan bahasan politik dalam cerpen ini dengan ungkapan “babi” sebagai ekspresi kekecewaan atas pemotongan tangan yang tidak sesuai dengan keinginan tokoh penderita (pasien). Melainkan ia telah dipengaruhi oleh dokter bedah.
“Kelihatannya saja tangan kanan saudara yang salah. Tapi sebetulnya tangan kiri saudara. Ini politik. Tangan kiri saudara iri kepada tangan kanan yang pakai jam dan cincin kawin. Lalu ia mencoba membuat sabotase. (Wijaya, 1982: 13)”
………………………………………………………………………………………………
 “Pasien ini tampak memusatkan pikirannya keatas kertas itu. Mukanya tampak lebih banyak mengucurkan keringat. Tubuhnya gemetar. Lalu tiba-tiba saja ia membaca kertas ini dengan sura yang menggeledak. “Babi!”. (Wijaya, 1982: 14)”
            Kutipan diatas menunjukkan bahwa, adanya aksi politik yang dilancarkan oleh sang dokter. Bahkan mampu membuat penderita mengikuti kata-kata sang dokter justru membuatnya kecewa. Sehingga Ia menjadi benci setengah mati dengan politik. Uraian tersebut menyebutkan kata “babi” yang berulang-ulang ditulus oleh penderita. Bahkan dibacanya dengan suara menggeledak setelah kecewa karena ulah politik sang dokter, merupakan cemoohan atau makian terhadap panggung politik yang tidak berperikemanusiaan.
Berbeda dengan cerpen “babi”, di dalam cerpen “takut” lebih memperlihatkan tentang kejadian yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya masalah dan kekhawatiran seorang ayah jika melihat anak perempuannya yang mengikuti perkembangan jaman atau pergaulan kekinian. Dalam cerpen “takut” lebih menyoroti tentang percakapan antara ayah dan anak. Seperti dialog Lila dan ayahnya pada cerpen “Takut”. Ayahnya tak suka melihat putrinya pulang larut malam untuk kesekian kalinya dan diantar pulang oleh lawan jenis. Lebih tak suka lagi ketika menyaksikan putrinya berciuman di depannya tanpa rasa malu. Ketika itu ayahnya merasa tak dihargai. Ayahnya ingin sekali menegur namun ia tak mau dikatakan orang tua yang kolot dan terlalu menekan anak. Tetapi disisi lain ia juga tersinggung dan malu melihat kelakuan putrinya. Lalu setelah berbagai pertimbangan masuklah ia ke dalam kamar Lila dan memberi nasihat layaknya seorang ayah.
Dialog bertambah menarik ketika Lila bersikeras dengan pendapatnya bahwa berciuman adalah hal yang biasa sedangkan ayahnya bersemangat mengeluarkan uneg-uneg perihal sikap Lila dalam bergaul yang menurutnya sudah melewati batas wajar. Namun karena ayahnya bicara bertele-tele membuat Lila menanggapinya dengan dingin.
“Masak di depan papa kamu berciuman begitu dengan teman-temanmu. Papa bukan orang kolot dalam hal ini. Tapi kan itu bukan pacar Lila. Kalau toh pacar, mengapa harus melakukan itu di depan papa?” Laila berhenti mengisi teka-teki. “Laila jadi tidak mengerti. Itu kan hal biasa Pa.” (Wijaya, 1982: 31-32)
            Kutipan tersebut menjelaskan rasa khawatir yang dialami Papa Lila karena berciuman merupakan hal yang biasa bagi Lila. Seorang Papa yang tidak ingin dianggap kolot namun dia juga merasa bingung jika tidak diberitahu akan semakin membuat Laila semakin berlebihan. Sedangkan Lila adalah seorang gadis yang terbawa arus pergaulan modern. Hal tersebut sering di temui dalam kehidupan nyata. Dijaman sekarang yang sudah masuk ke dalam arus globalisasi, pergaulan anak-anak juga ikut dari imbas tersebut. Orang tua merasa resah karena takut jika sang anak yang beranjak dewasa terpengaruh dengan pergaulan bebas.
            Terdapat Konflik batin yang dirasakan oleh Papa Lila. Malam itu ia jengkel melihat Lila yang tertidur tanpa merasa bersalah. Ia taklagi mau menyelimuti putrinya, menutup jendela, menyalakan obat nyamuk, atau mencopot sepatu yang dipakai Lila saat tidur. Ia merasa harga dirinya bangkit. Ia takingin kehilangan wibawa seorang ayah. Saat pagi istrinya memergoki ia bergegas pergi ke kantor lebih awal. Istrinya mengatakan bahwa ia mengerti keadaan perasaan suaminya yang tiba-tiba menjadi sangat pendiam. Istrinya menyaksikan ketika ia menasehati Lila, lalu memutuskan tidur di sofa, mandi dan sarapan secara sembunyi-sembunyi karena takmau bicara dengan istri dan anaknya. Pada saat itu ia benar-benar membutuhkan ketenangan dan istrinya mengijinkan ia pergi kemana pun yang bisa memberikan ia ketenangan.
Semua yang terdapat dalam antologi “Gres” diungkapkan Putu dengan caranya sendiri tanpa mengindahkan kata-kata. Putu berusaha menyampaikan pesan dalam ceritanya dengan tidak menggurui namun pembaca sendiri yang akan mengakui kebenaran-kebanaran itu. Semacam teror mental yang membuat pembaca merenungi pemikiran atau fenomena yang pernah terjadi. Berbagai efek menyerang pembaca cerpen Putu. Pembacanya akan merasa disentil barangkali dengan sedikit senyum, gelengan dan anggukan. Terkadang cerpen Putu terkesan "meledek" pemikiran atau fenomena yang terjadi di masyarakat lalu membungkusnya dalam sebuah cerita secara apik.   


UNSUR INTRINSIK YANG TERDAPAT PADA CERPEN “BABI”
Antologi Cerpen “Gres” Karya Putu Wijaya

            Di dalam antologi “Gres” terdapat berbagai tema dalam cerpen-cerpennya dan berusaha mengungkapkan dunia kenyataan yang tidak realitas, tetapi anehnya dapat dirasakan oleh pembaca sebagai dunia kenyataan yang pernah dirasakan dan dipikirkan. Namun sebagian besar para pembaca tidak sempat menghayatinya secara intens. Putu Wijaya sengaja melakukan hal tersebut karena ingin membawa pembaca kembali ke dalam kesadaran tersebut. Selain itu Putu juga berusaha menyentakkan ke dunia yang lain, aneh, sulit dipahami dan mengejutkan. Seperti halnya di dalam cerpen “babi” yang menceritakan seseorang yang setiap menuliskan namanya selalu babi.
            Dalam cerpen “babi” menceritakan seorang laki-laki yang merasa tidak nyaman dengan tangan kanannya yang memiliki ideologi berbeda dengannya. Ia telah mengunjungi beberapa ahli ilmu jiwa, namun semuanya tidak membuahkan hasil. Dia juga pernah datang ke rumah seorang Ulama’, namun bukannya diberikan pengobatan justru hanya disuruhnya istirahat. Akhirnya dia datang ke dokter bedah. Disitu dia menceritakan semuanya tentang keluhan yang dialaminya. Namun seorang laki-laki tersebut terkejut bahwa ternyata dokter itu menginginkan tangan kirinya yang harus dipotong. Alasan dokter kenapa harus tangan kiri yang dipotong karena tangan kiri laki-laki tersebut iri dengan apa yang selalu dukenakan tangan kanan setiap harinya. Hingga akhirnya dokter itu memaksanya untuk menulis namanya sendiri. Dengan rasa takut seorang laki-laki tersebut menolak ajakan dokter itu. Hingga akhirnya laki-laki tersebut mau menulis namanya yang bertuliskan “ANWAR”. Dokter itu pun senang dan menyuruhnya untuk membaca tulisannya tersebut. Namun laki-laki tersebut membacanya dengan suara kencang “BABI”.
            Penggunaan gaya bahasa yang digunakan pada cerpen “babi” sulit dipahami dan bahasanya cenderung kasar. Dalam bahasa Jawa kata “babi” adalah “celeng”, yang sering digunakan sebagi makian terhadap sesuatu atau seseorang yang tidak disukai. Selain itu terdapat kata-kata kasar lain yaitu seperti “bosok” yang dalam bahasa Jawa adalah “busuk”. Dalam bahasa Jawa “bosok” merupakan salah satu kata yang sangat kasar jika di ucapkan atau ditujukan kepada seseorang. Sebab kata tersebut sering digunakan untuk makanan atau buah-buahan yang sudah basi atau membusuk.
            Gaya bahasa yang terdapat dalam cerpen “babi” tidak rasional atau sulit diterima akal pikiran. Dalam serita tersebut dijelaskan seorang yang ingin memotong tangan kanannya karena dia bermusuhan dengan tangannya yang dapat memberontak dan memiliki perbedaan ideologi. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut.
“Dokter, ujarnya dengan terharu, saya sudah memutuskan untuk berpisah dengan tangan ini. Ideologi kami tidak lagi sama. Daripada saya bosok dan diganggu terus, lebih baik saya putuskan sekarang. Saraf saya tak kuat lagi untuk menerima pemberontakannya. Saya minta dokter sudi memotong tangan ini .”  (Wijaya, 1982:11).
Secara logika tangan selalu dikendalikan oleh pikiran, sehingga tidak mungkin tangan memberontak dan bahkan sampai memiliki perbedaan ideologi dengan pemiliknya. Selain itu dia sering menghindar jika harus disuruh menuliskan namanya, karena ketika dia menulis namanya dia mengucapkannya dengan suara kencang, yaitu “babi”. Padahal seorang dokter yang menyuruhnya menulis nama melihat bahwa yang dia tulis adalah namanya, yaitu Anwar.
            Tokoh seorang laki-laki yang bernama Anwar tersebut memiliki sifat ketidak puasan terhadap sesuatu ataupun orang lain. Di awal cerita dia merasakan ketidak puasan kepada orang lain. Ketidak puasan tersebut terdapat pada kutipan berikut.
“Ia telah mengunjungi ahli ilmu jiwa, tetapi tak mendapatkan hasil yang ia inginkan. Ia juga sudah datang kedepan seorang ulama, tetapi ia hanya dinasehati supaya beristirahat. Padahal ia yakin bahwa mungkin sekali ia sedang berubah menjadi gila” (Wijaya, 1982:11).
Dapat dilihat betapa kecewanya seseorang tersebut yang menganggap penting suatu persoalan, namun hanya diberi solusi yang tidak memuaskan. Bahkan hanya mengulur permasalahan menjadi lebih panjang.
Selain itu rasa tidak puas juga dia alami ketika tokoh Anwar datang ke dokter bedah.  Seseorang yang berkali-kali mencoba menuliskan namanya namun justru kesleo menjadi “babi” karena tangannya teah menganut ideologi lain. Selain itu dengan pembacaan hasil tulisannya oleh dokter setelah oprasi. Sang dokter membacanya “Anwar”, namun ternyata si pasien masih membacanya “babi” bahkan dengan suara yang menggeledak. Itu adalah ekspresi kekecewaan yang paling besar karena ia telah terbawa ajakan sang dokter.
“Hampir sepuluh menit lamanya, baru tangan itu menilis ANWAR. Dokter itu manarik nafas dengan lega sekali. Ia menoleh ke pasiennya. Orang itu tampak berkeringat. Seluruh mukanya basah. Matanya masih terpejam……… Pasien itu nampak memusatkan pikiranya ke atas kertas itu. Mukanya tampak lebih banyak mengucurkan keringat. Tubuhnya gemetar. Lalu tiba-tiba saja ia membaca kertas itu dengan suara yang menggeledak. “Babi!” (Wijaya, 1982:14).
            Latar yang tedapat dalam cerita tersebut berada di dalam rumah sakit dan lebih tepatnya diruang operasi. Namun latar yang lebih dominan berupa latar suasana yang dapat membuat nuansa cerita seperti mengambang dan pembaca dapat terbawa dalam suasana yang aneh karena diluar nalar manusia. Suasana yang bisa dikatakan menjadi teka-teki dan secara tiba-tiba berubah sesuai alur. Seperti yang terdapat pada kutipan berikut.
“Dokter itu tiba-tiba tersenyum. Ia segera memegang tangan itu dengan gairahnya. Sebelum penderita itu sadar ia cepat mengikat tangan itu dan segera mengambil alat untuk memotongnya. Penderita itu tentu saja terkejut. (Wijaya, 1982: 12).
Kutipan tersebut menjunjukkan adanya hal yang disembunyikan, yaitu sebuah peristiwa pemotongan tangan yang disembunyikan pada senyum sang dokter. Suasana yang seharusnya dapat menjadi mencekam karena akan terjadi pemotongan tangan, namun mengalir saja tanpa disadari, bahkan oleh tokoh dalam cerpen tersebut.
             




BABI
Karya Putu Wijaya
            Setiap kali hendak menulis namanya sendiri, tangannlya selalu keseleo dan menulis kata “babi”. Ia jadi dongkol sekali. Ia ltelah mengunjungi seorang ahi ilmu jiwa, tetapi tidak mendapatkan hasil yang ia inginkan. Ia juga sudah datang ke depan seorang ulama, tetapi ia hanya diasihati seupaya beristirahat. Padahal, ia yakin benar bahwa mungkin sekali ia sedang berubah untuk menjadi gila.
            Akhirnya ia datang ke dokter bedah.
            “Dokter,” ujarnya dengan terharu, “saya sudah memutuskan luntuk berpisah dengan tangan ini. Ideologi kami tidak sama lagi. Daripada saya bosok dan diganggu terus, lebih baik saya putuskan sekarang. Saraf saya tak kuat lagi untuk menerima pemberontakannya. Saya minta dokter sudi memotong tangan ini.”
            Dokter itu  seorang yang penuh pengertian. Ia mendengarkan dengan tenang, seakan-akan ia sudah seringkali memotong tangan orang tanpa alasan-alasan medis. Ia hanya tampak ragu-ragu, apakah ia akan emotong yang kanan atau yang kiri. Pemilik tangan itu sendiri yakin bahwa tangan kanannyalah yang telah berontak, karena itulah  yang dipakai untuk menulis.
            “Jangan terburu nafsu,” kata dokter, “Kita jangan melupakan faktor-faktor sampingan. Kalau tangan Saudara ini memang telah nekat untuk menganut ideologi yang berbeda, tak akan mungkin ia bertindak dengan serampangan. Saya khawatir kalau ia hanya sekadar pancingan.”
            Penderita itu tercengang.
            “Maksud dokter?”
            “Maksud saya adalah bahwa, janganlah Anda begitu cepat untuk terpancing. Berpikirlah sejenak dan renungkan apa yang hendak Anda lakukan. Jangan berkata-kata lagi. Anda relaks saja dahulu. Saya akan berikan waaktu seperempat jam. Kemudian saya akan kembali. Sesudah itu, kita pastikan aoa yang akan kita lakukan. Ketahuilah. Tak ada yang sulit untuk dilakukan. Saya sudah memotong ribuan tangan orang. Saya berani melakukan itu semua. Saya Cuma tak kuat kalau pada akhirnya saya harus berhadapan dengan orang yang menyesal. Saudara mengerti apa yang saya katakan?”
            Penderita itu tidak begitu mengerti. Tetapi ia menurut.
            Selama seperempat jam kemudian ia duduk beristirahat, memikirkan tingkah laku tangannya. Ia perhatikan tangan itu. Ia bertambah yakin lagi bahwa ia harus berpisah. Lalu dibukanya jam tangannya. Dibukanya cincinnya. Semua barang-barang itu dipindahkannya ke tangan kiri. Sesudah itu ia duduk dengan tenang.
            Waktu dokter datang, ia segera mengulurkan tangan kanannya. “Saya kira tak ada jalan lain harus dipotong dokter,” ujarnya. Dokter memandangi tangan itu dengan hati-hati.
            “Ada sesuatu yang lain pada tangan ini sekarang,” ujarnya.
            Penderita itu tertawa.
            “Tentu saja dokter, sebab jam tangan dan cincin sudah saya copot.”
            “Kenapa?”
            “Kan tangan ini mau dipotong?”
            “Lalu di mana jam dan cincin itu?”
            Penderita itu mengulurkan tangan kirinya.
            “Di sini dong!”
            Dokter itu tiba-tiba tersenyum. Ia segera memegang tangan itu dengan gairahnya. Sebelum penderita itu sadar, ia cepat mengikat tangan itu dan segera mengambil alat untuk memotonya. Penderita itu tentu saja terkejut.
            “Dokter mau memotong tangan kiri saya?”
            “Ya.”
            “Kenapa?”
            Dokter meletakkan telunjuknya di mulut, “sst!”
            Penderita itu menggeleng.
            “Kenapa mesti sst?”
            “Sudahlah diam dulu, ini politik!”
            “Politik bagaimana?”
            Dokter mendekatkan mulutnya ke telinga penderita itu, lantas berbisik, “kelihatannya saja tangan kanan Saudara yang salah. Tapi sebetulnya tangan kiri Saudara. Ini politik. Tangan kiri Saudara iri kepada tangan kanan yang pakai jam dan cincin kawin. Lalu ia mencoba membuat sabotase. Sementara Saudara menulis ia menutup muka saudara, lalu menggosok tulisan itu menjadi, menjadi apa biasanya yang dia tulis?”
            “Babi.”
            “Ya babi.’
            “Tapi Dokter.”
            “Oke, mari kita coba sekarang!”
            Dokter itu kemudian mengambil kertas dan pulpen.
            “Sekarang coba tulis nama Anda.”
            Penderita itu menggeleng. Dokter menepuk-nepuk pundaknya.
            ‘Jangan takut, ini bukan eksperimen, ini hanya untuk bukti saja sehingga Saudara rela untuk menolong tanga kiri itu. Ayo coba!”
            Ia segera menggenggamkan pulpen itu di tangan kanan penderita.
            “Tulislah sekarang nama Anda!”
            Penderita itu menggeleng.
            “Kenapa?”
            “Nggak mau!”
            “Ayo coba dong, jangan seperti anak kecil!”
            Dokter itu membujuk-bujuk. Akhirnya orang itu mau juga menulis. Tapi ia kelihatan terpaksa sekali. Ia memejamkan matanya. Tangannya bergerak dengan lambat. Tetapi jari-jari tangan itu tampak kaku. Urat-uratnya keluar. Dokter itu memperhatikan dengan takjub. Ia seperti melihat sebuah pertempuran. Tetapi ia seorang yang sabar.
            Hampir sepuluh menit lamanya, baru tanga itu berhasil menulis : ANWAR. Dokter itu menarik nafas dengan lega sekali. Ia menoleh ke pasiennya, Orang itu tampak berkeringat. Seluruh mukanya basah. Matanya masih terpejam. Dokter itu segera mengambil sapu tangan. Ia mengusap muka pasiennya.
            Ia juga sempat mengambil air dan memberi minum penderita itu. Aneh sekali matanya masih tetap tertutup. Dokter kemudian menepuk-nepuk pundaknya.
            “sudah, sudah, semuanya sudah selesai. Sekarang buka matanya.”
            Penderita itu membuka matanya perlahan-lahan. Ia tampak lelah sekali. Dokter lalu mengambil kertas dan menunjukkan kepada orang itu. Ia tersenyum simpul.
            “Coba baca,” kata dokter dengan bangga.
            Pasien itu diam saja.
            Dokter segera menyalakan lampu, sehingga kertas itu jadi lebih terang.
            “Coba baca dong,” kata dokter dengan nada kemenangan.
            Pasien itu masih diam-diam saja.
            “Ayo baca!”
            Pasien itu tampak memusatkan pikirannya ke atas kertas itu. Mukanya tampak lebih banyak mengucurkan keringat. Tubuhnya gemetar. Lalu tiba-tiba saja ia membaca kertas itu dengan suara yang menggeledek.
            “Babi!”



                                Perjalanan Berliku Dalam Bahtera Cinta
                                   Empat Kumpulan Sajak Karya W.S Rendra
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di Keraton Surakarta Hadiningrat. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya. Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika beliau duduk di bangku SMP. Saat itu beliau sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek, dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata beliau juga piawai di atas panggung. Beliau mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat. Pertama kali beliau mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun '60-an dan tahun '70-an.
Pada usia 24 tahun, beliau menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Theodorus Setya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Clara Sinta. Romantisme percintaan mereka memberi inspirasi Rendra sehingga lahir beberapa puisi yang kemudian diterbitkan dalam satu buku Empat Kumpulan Sajak. Setelah menikah, WS Rendra bukannya menutup hati, ia malah kepincut dengan salah satu muridnya di Bengkel Teater yang bernama Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat yaitu putri Keraton Yogyakarta yang sering maindan belajar di teater Rendra. Rendra ternyata tak puas hanya dengan dua istri, naluri kejantanannya bertingkah lagi dengan menikahi seorang gadis bernama Ken Zuraida, akan tetapi pernikahan ketiganya ini harus dibayar mahal dengan mengorbankan dua istri terdahulunya yaitu Sitoresmi dan Sunarti. WS Rendra harus rela menceraikan dua istrinya ini pada tahun 1979 karena tak menyetujui Rendra memiliki istri ketiga.
Kisah kehidupan yang dialami WS Rendra pun dituangkannya ke dalam sebuah buku yang bernama Empat Kumpulan Sajak. Sajak yang pertama adalah Kakawin kawin yang terdapat dua sub judul, yaitu Romansa (11 sajak) dan Ke Altar dan Sesudahnya (9 sajak). Sajak yang kedua adalah Malam Stanza yang terdapat 29 judul puisi. Sajak yang kedua adalah Nyanyian Dari Jalanan yang terdapat lima sub judul, yaitu Jakarta (4 sajak), Bunda (1 sajak), Lelaki (7 sajak), Nyanyian Murni (7 sajak), dan Wanita (3 sajak). Sajak-sajak Rendra dalam Empat Kumpulan Sajak memiliki tema besar, yaitu hubungan cinta lelaki dan perempuan. Tema ini sangat kentara dalam dua kumpulan sajak pertama yang berjudul Kakawin Kawin dan Malam Stanza. Sedangkan dalam dua kumpulan sajak yang lain, Nyanyian dari Jalanan dan, khususnya, Sajak-Sajak Dua Belas Perak, isi sajak sudah melebar ke tema sosial. Berbeda dengan Malam Stanza yang berbicara kekasih namun dengan jangkauan lebih luas lebih luas di bandingkan Kakawin Kawin yang dibicarakan hanya hubungan kekasih yang bersifat naturalis.
Sifat naturalis yang terdapat dalam sajak Kakawin Kawin sangat jelas terlihat. Rendra menggunakan sifat yang naturalis karena pencitraan tersebut dapat memberian kesan romantis. Misalnya beberapa gerak fauna dipakai untuk mengambarkan hubungan dan perasaan; “Dua ekor belibis bercintaan dalam kolam”, “Engkau adalah putri duyung tergolek lemas mengejap-kejapkan matanya yang indah dalam jaringku”, “kupacu kudaku menujumu”. Penggunaan gaya kata tersebut digunakan Rendra untuk lebih memperkuat kesan romantis dan daya tarik tersendiri yang terdapat dalam isi sajaknya. Misalnya lagi, citra tumbuhan dan bulan muncul berulang kali; “alang-alang dan rumputan bulan mabuk di atasnya”, “pohon jambu di halaman itu berbuah dengan lebatnya”,” ..di balik semak itu sedang bulan merah mabuk”, “tujuh pasang mata peri terpejam di pohonan”, “sebuah pasangan telah dikawinkan bulan”, “ketika bulan menjenguknya”, dan lain-lain. Penggunaan gaya kata tersebut tentu saja sangat mempengaruhi pembaca dalam memahami sajak Rendra. Salah satunya adalah munculnya kesan pedesaan yang sangat kental pada puisi-puisi Rendra dalam kumpulan sajak tersebut.
Namun alur yang dipakai Rendra mudah ditebak dan secara umum keseluruhan teks sajak yang disatukan itu nada-nadanya mengalir dengan irama yang pasti. Sesudah menulis surat cinta, lelaki melamar perempuan idamannya, lalu menyebarkan undangan dan menikahlah pasangan itu di gereja yang diberkahi malaikat. Kemudian pergilah mereka menikmati ranjang, bernyanyi, dan meraba masa depan bersama. Urutan alur tersebut terdapat pada judul sajak Surat Cinta, Surat Kepada Bunda: Tentang Calon Menantunya, undangan, Nyanyian Para Malaikat, Ranjang Bulan Ranjang Pengantin, dan Nyanyian Pengantin. Meskipun dari segi alur mudah di tebak, namun puisi-puisi Rendra didominasi kesan penuh semangat, terutama dalam hal hubungan percintaan. Hal lain yang cukup menarik adalah kujujuran dan ketulusan perasaan-perasaan cinta di beberapa puisinya, misalnya di Episode, Surat Kepada Bunda: Tentang Calon Menantunya, Kakawin Kawin, dan Ranjang Bulan Ranjang Pengantin.
Ketika Rendra hendak menikahi Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, beliau berada pada suatu pilihan sulit, yaitu penolakan ayahanda Sitoresmi yang tidak menyetujui pernikahannya karena perbedaan agama, Rendra Katolik sedangkan Sitoresmi Islam. Namun akhirnya Rendra rela melepas agamanya dan masuk kedalam agama baru yakni agama Islam. Meskipun Mualafnya Rendra mendapatkan komentar sinis dari berbagai publik, namun Rendra mengungkapkan bahwa dirinya tertarik Islam sudah cukup lama dan menurutnya Islam telah berhasil menjawab kegalauan dirinya akan hakekat Tuhan. Hal tersebut terlihat dalam puisinya yang berjudul Nyanyian Para Malaikat. Terdapat pada kutipan berikut.
Tuhan Allah Yang Esa
yang selalu dipuja
dalam mazmur bani Israel,
akan menyatukan dua remaja
dalam pelukan cintanya.
Dalam puisinya yang berjudul Nyanyian Para Malaikat, Rendra memberikan nuansa Katolik, seperti halnya terdapat kata “gereja”, “misa” dan “anggur”. Hal tersebut terlihat jelas bahwa puisi tersebut merupakan penggambaran dari kisah yang dialami Rendra di saat menikah dengan istri keduanya yang menjadikannya seorang mualaf. Rendra mengkombinasikan kedua agama yaitu Islam dan Katolik ke dalam puisinya. Karena dalam pernikahan keduanya tersebut dia memeluk agama baru dan melepas agama lamanya.
Dapat disimpulkan bahwa buku Empat kumpulan sajak merupakan suatu gambaran kisah perjalanan seorang WS Rendra. Sedangkan sajak yang berjudul Kakawin kawin menggambarkan tentang liku-liku percintaan awal yang dialami Rendra hingga dia rela berganti agama. Sajak yang dikemas Rendra dengan sifat naturalis memberikan kesan keindahan bagi para pembacanya. 





ANALISIS UNSUR INTRINSIK PUISI SERENADA KELABU
Empat Kumpulan Sajak Karya W.S. Rendra

            Terciptanya buku Empat Belas Sajak ini dari pengalaman cinta yang dialami Rendra. Romantisme percintaan memberi inspirasi kepada Rendra sehingga lahir beberapa puisi yang kemudian diterbitkan dalam satu buku Empat Kumpulan Sajak. Terdapat empat sajak yang terdapat dalam buku tersebut, diantaranya Kakawin kawin yang terdapat dua sub judul. Sajak yang kedua adalah Malam Stanza yang terdapat 29 judul puisi. Sajak yang ketiga adalah Nyanyian Dari Jalanan yang terdapat lima sub judul dan Wanita. Sajak-sajak Rendra dalam Empat Kumpulan Sajak memiliki tema besar, yaitu hubungan cinta lelaki dan perempuan. Tema ini sangat kentara dalam dua kumpulan sajak pertama yang berjudul Kakawin Kawin dan Malam Stanza. Sedangkan dalam dua kumpulan sajak yang lain, Nyanyian dari Jalanan dan, khususnya, Sajak-Sajak Dua Belas Perak, isi sajak sudah melebar ke tema sosial. Berbeda dengan Malam Stanza yang berbicara kekasih namun dengan jangkauan lebih luas lebih luas di bandingkan Kakawin Kawin yang dibicarakan hanya hubungan kekasih yang bersifat naturalis.
            Dalam sajak yang pertama yaitu Kakawin kawin terdapat salah satu judul puisi yang akan saya fokuskan dalam mengkritik unsur intrinsiknya, yaitu Serenada Kelabu. Terdapat beberapa kelemahan yang terdapat dalam puisi tersebut, antara lain makna dari puisi yang mudah di tebak, penggunaan gaya bunyi dan tipografi. Tema dari puisi Serenada Kelabu ini adalah kerinduan yang mendalam dalam diri seseorang. Dapat dilihat dari kutipan puisi tersebut yaitu "Ingin ku dengar berita mu". Pada kutipan tersebut merupakan penguatan makna yang terdapat dalam puisi Serenada Kelabu yang berarti kerinduan dalam diri seseorang. Karena kutipan tersebut terletak dalam awal bait, jadi pembaca dapat dengan mudah menebak maksud dari penulis.
            Selanjutnya adalah gaya bunyi, yang merupakan penggunaan bunyi-bunyi tertentu untuk mendapatkan efek tertentu, yaitu efek estetis. Dalam puisi Serenada Kelabu karya WS Rendra terdapat gaya bunyi yang berupa rima. Rima Rima adalah pengulangan bunyi untuk membentuk keindahan bunyi. Dalam puisi Serenada Kelabu ini, Rendra juga bermain dengan bunyi untuk mencapai keindahan. Seperti pada bait berikut ini, Rendra memanfaatkan rima akhir –an untuk menambah nilai estetis puisi. “Ketika melewati rumputan, terbayang segala kenangan.” Namun dalam bait yang pertma, Renda tidak memeperhatikan penggunaan rima yang bersajak akhir sama. Terdapat pada kutipan puisi berikut;
Bagai daun yang melayang.
Bagai burung dalam angin.
Bagai ikan dalam pusaran.
Ingin kudengar beritamu!
           
Pada kutipan berikut tidak terdapat rima yang bersajak sama, hal tersebut akan mempengaruhi keindahan bunyi pada puisi tesebut. Selain itu tidak terdapatnya sajak akhir yang sama akan mengganggu penggunaan bunyi yang menggunakan efek tertentu. Jadi, akan lebih baik lagi jika rima pada puisi tersebut memiliki sajak akhir yang sama.
Selain itu terdapat kelemahan yang terdapat pada puisi Serenada Kelabu karya WS Rendra, yaitu tipografi. Tipografi adalah penataan bentuk larik / baris dalam puisi yang dapat menambah aspek kekuatan makna dan ekspresi pengarang. Dalam hal ini, puisi Serenada Kelabu memiliki tipografi atau bentuk yang biasa, Rendra tidak melakukan eksperimen pada bentuk puisi. Namun isi dan unsur lain yang terkandung dalam puisi ini sudah cukup untuk menjadi kekuatan makna dan ekspresi Rendra.
Dalam buku Empat kumpulan sajak merupakan suatu gambaran kisah perjalanan seorang WS Rendra. Sajak yang berjudul Kakawin kawin menggambarkan tentang liku-liku percintaan awal yang dialami Rendra hingga dia rela berganti agama. Sajak yang dikemas Rendra dengan sifat naturalis memberikan kesan keindahan bagi para pembacanya. Namun masih terdapat beberapa kekurangan yang terdapat dalam puisi Rendra tersebut, diantaranya pada puisi Serenada Kelabu. Dalam puisi tersebut terdapat beberapa kekurangan, diantaranya  makna dari puisi yang mudah di tebak, penggunaan gaya bunyi dan tipografi yang masih sangat sederhana.




SERENADA KELABU

Bagai daun yang melayang.
Bagai burung dalam angin.
Bagai ikan dalam pusaran.
Ingin kudengar beritamu!

Ketika melewati kali
terbayang gelakmu.
Ketika melewati rumputan
terbayang segala kenangan.
Awan lewat indah sekali.
Angin datang lembut sekali.
Gambar-gambar di rumah penuh arti.
Pintu pun kubuka lebar-lebar.
Ketika aku duduk makan
kuingin benar bersama dirimu.






DAFTAR PUSTAKA

Lubis, Mochtar. 2003. Harimau! Harimau!. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wijaya, Putu. 2005. Gres. Jakarta: Balai Pustaka.
Rendra W.S. 2004. Empat Kumpulan Sajak. Jakarta: PT. Surya Multi Grafika.
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: CakraBooks.
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2008. Stilistika Sebuah Pengantar. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar