Iklan

Selasa, 07 Februari 2017

TINJAUAN STILISTIKA DALAM NOVEL HARIMAU! HARIMAU!: DENGAN STYLE DAN RETORIKA


TINJAUAN STILISTIKA DALAM NOVEL HARIMAU! HARIMAU!:
DENGAN STYLE DAN RETORIKA
Tinjauan stilistika dalam novel Harimau! Harimau! (HH) terletak pada pengarang yang memberikan atau mengungkapkan gagasannya yang ingin disampaikan kepada pembaca. Terdapat tiga tinjauan stilistika yang terdapat pada novel HH. Pertama gaya kata yang unik dan bervariasi. Kedua bahasa figurative, bahasa unik dan khas yang dimiliki pengarang. Ketiga terdapat citraan, mencakup citraan visual, citraan intelektual, citraan gerak, citraan pendengaran, citraan perabaan, citraan penciuman dan pencecapan. Dalam karya sastra, style dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan mengeksploistasi, memanipulasi, dan memanfaatkan segenap potensi bahasa. Sedangkan retorika merupakan saranga kepuitisan yang berupa muslihat pikiran.

PENGANTAR
Novel Harimau! Harimau! karya Moctar Lubis pada tahun 1975 mendapat penghargaan novel terbaik pada tahun 1975. Hal tersebut menunjukkan bahwa karya Muctar Lubis memiliki kekhasan dan ruh sastra yang begitu menonjol. Struktur novel dengan segala sesuatu yang dikomunikasikan selalu dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa pengarang. Demi efektivitas pengungkapan, bahasa sastra disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan diberdayakan sedemikian rupa melalui stilistika. Oleh karena itu, bahasa karya sastra memiliki kekhasan yang berbeda dengan karya nonsastra, yakni penuh ambiguitas dan memiliki kategori-kategori yang tidak beraturan dan tidak rasional, asosiati, konotatif, dan mengacu pada teks lain atau karya sastra yang diciptakan sebelumnya.
Stilistika berasal dari bahasa Inggris stylisties yang berarti studi mengenai style ‘gaya bahasa’ atau ‘bahasa bergaya’. Kata style ( bahasa Inggris) berasal dari kata Latin stilus yang berarti alat (berujung tajam) yang dipakai untuk menulis di atas lempengan lilin. Kata stilus kemudian dieja menjadi stylus oleh penulis-penulis selanjutnya karena ada kesamaan makna dengan bahasa Yunani stulus (a pilor, bahasa Inggris) yang berarti alat tulis yang terbuat dari logam, kecil, dan berbentuk batang memiliki ujung yang tajam. Alat tersebut digunakan juga untuk menulis di atas kertas berlapis lilin.
Adapun stilistika (stylisties) adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Dapat dikatakan bahwa stilistika adalah proses menganilisis karya sastra dengan mengkaji unsure-unsur bahasa sebagai medium karya sastra yang digunakan sastrawan, sehingga terlihat bagaimana perlakuan sastrawan terhadap bahasa dalam rangka menuangkan gagasannya (subject matter). Oleh sebab itu, semua proses yang berhubungan dengan analisis bahasa karya sastra dikerahkan untuk mengungkapkan aspek kebahasaan dalam karya sastra tersebut. amSeperti diksi, penggunaan bahasa kias atau figurative, struktur kalaimat, bentuk-bentuk wacana dan sarana retorika yang lain.

GAYA KATA
            Terdapat kata yang unik dan bervariasi yang digunakan pengarang. Sebagian besar bahasa yang digunakan pada novel ini adalah bahasa Padang, karena pengarang sengaja membuatnya sesuai dengan tanah kelahirannya. Keunikan kata pada novel Harimau! Harimau! yang paling mendasar, dapat dilihat dari judulnya sendiri “Harimau! Harimau!” yang sengaja dibuat berulang tanpa tanda (-) yang biasa digunakan pada tata bahasa yang benar. Pengarang sengaja membuat hal tersebut karena dalam karya sastra, sastrawan memiliki kebebasan untuk berbahasa. Selain itu keunikan tersebut dapat menggugah ketertarikan pembaca. tidak hany itu saja, dalam novel ini, dari nama tokoh-tokohnya, Wak Katok, Wak Hitam, Buyung, Sunip, Talib, dll. Pembaca yang luar Daerah Padang, mungkin lucu mendengar nama-nama tersebut, tidak terbiasa dan aneh. Pada novel ini selain pengarang menggunakan bahasa yang mencirikan daerah Padang, juga penggunaan bahasa fulgar yang sering ditonjolkan.
“Matanya tak putus-putusnya mengikuti gerak-gerik Siti Rubiyah. Perempuan muda itu yang menyangka dirinya seorang diri di pinggir sungai dengan tenang membuka pakaiannya. Dia membuka kebaya tuanya dan meletakkan diatas batu besar. Dia tidak memakai kutang.”

Pengarang menggunakan pilihan kata kutang memang terkesan vulgar, namun di dalam dunia sastra hal tersebut tidak terlepas dengan ciri khas pengarangnya. Setiap pengarang memiliki kebebasan untuk berbahasa, itulah yang dimanfaatkan semua pengarang untuk mengekspresikan apa yang memang menjadi ide mereka. Dalam hal ini, mungkin Muctar Lubis ingin lebih membangkitkan biharahi dari pembaca, sehingga kesannya mereka bagaimana keaadaan Siti Rubiyang istri muda Wak Hitam ketika mandi di sungai. Selain itu kata-kata yang terdapat pada novel ini lebih banyak menggunakan pemilihan kata yang unik. Maksud dari unik disini ditujukan kepada pembaca yang awam akan bahasa Padang. Karena pada novel ini sebagian besar menggunakan bahasa Padang, jadi untuk pembaca yang kurang tahu akan merasa aneh dan unik.
“Aduh, beginilah kalau sudah tua dan sakit-sakit, tak ada lagi yang mengurus awak." (hal 46)
"Bini yang tua dan bini yang muda, sama saja, tak hendak mengurus kita dengan benar." (hal 47).
            Dalam hal ini, awak yang berarti saya, kata itu memiliki kekhasan tersendiri dibanding dengan menggunakan kata yang biasa dipakai, seperti saya atau aku. Sedangkan ‘tak hendak mengurus kita dengan benar’, hal itu berarti ‘tidak mengurus saya dengan benar’. Penggunaan kata ‘tak hendak’ dan ‘kita’ diaman ‘kita’ itu sebenarnya menunjukkan objek tunggal ‘aku (Wak Hitam)’ itu juga lebih terkesan unik dan menarik dibaca.
            Namun apabila pengarang lebih banyak menggunakan bahasa Padang, akan timbul suatu kebingungan terhadap pembaca. Pembaca akan merasa tidak nyaman dalam membaca novel tersebut. Akibatnya banyak pembaca yang tumbang ditengah jalan karena kurang menangkap atau kurang mengatahui alurnya. Namun dalam novel ini pemakaian bahasa Padang masih dapat diterka oleh pembaca. Jadi tidak ada kesan jenuh dalam membaca, justru pembaca merasa enjoy dalam mengangkap maksud dari novel tersebut.
BAHASA FIGURATIF
Bahasa yang unik dan khas dari setiap pengarang akan terlihat ketika kita membaca karya-karya mereka, salah satunya karya Muctar Lubis. Bahasa figuratif pada novel Harimau! Harimau! itu sendiri sangat dominan, meliputi pemajasan dan idiomatic. Dengan pemanfaatan bahasa yang khas dan figurative, kesannya tidak membosankan dan ada tulisan yang memang harus dicerna oleh pembaca untuk menerjemahkan apa itu makna dari kalimat yang diungkapkan oleh novelis. Seperti penggunaan bahasa figurative yang terdapat pada kutipan berikut.
 “Hutan Raya terhampar di seluruh pulau, dari tepi pantai tempat ombak-ombak samudera yang terentang hingga ke Kutub Selatan menghempaskan diri setelah perjalanan yang amat jauhnya hingga ke puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi dan setiap hari diselimuti awan tebal. Hutan raya berubah-ubah wajahnya. Yang dekat pantai merupakan hutan-hutan kayu bakau, dan semakin jauh ke darat dan semakin tinggi letaknya, berubah pula kayu-kayu dan tanaman di dalamnya, hingga tiba pada pohon-pohon besar dan tinggi, sepanjang masa ditutup lumut, yang merupakan renda-renda terurai dari cabang dan dahan.” (hal.3)
“Sebagian terbesar bagian hutan raya tak pernah dijejak manusia dan di dalam hutan raya hidup bernapas dengan kuatnya. Berbagai margasatwa dan serangga penghuninya mempertahankan hidup di dalamnya. Demikian pula tanaman dan bunga-bunga anggrek, yang banyak merupakan mahkota di puncak-puncak pohon tinggi.” (hal.3)
“Di tengah hutan yang demikian sebuah anak sungai kecil, dengan airnya yang sejuk dan bersih mengalir, menccraeah, menyanyi-nyanyi dan berbisik-bisik, dan akan inginlah orang tinggal di sana selama-lamanya.” (Hal 4)
“Buyung tak tahu apa perasaan Zaitun yang sebenarnya terhadap dirinya. Kadang-kadang Zaitun baik sekali. Jika dia disuruh ibunya ke rumah Buyung membawa kiriman masakan, dan kebetulan Buyung ada di rumah, maka terkadang dia baik dan manis sekali pada Buyung dan akan tersenyum manis pula dan dia kelihatan amat cantiknya, dan menyapa Buyung dengan "kakak" padahal. Buyung hanya setahun saja lebih tua. Jika Zaitun demikian, maka Buyung merasa hatinya seakan terlonjak, terlambaung ke langit yang ketujuh, dan kakinya serasa tak berpijak lagi di lantai, dan sekelilingnya terasa olehnya terang benderang, penuh bunyi suling dan orang menyanyi.” (hal 11)
“Buyung juga cemburu melihat Sanip yang dengan mudah menganggap segala apa yang terjadi seperti soal yang ringan. Kalau umpamanya mereka sedang menempuh hutan, dan turun hujan yang lebat, hingga jalan menjadi licin dan badan mereka basah kuyup, maka Sanip dengan gembira akan berseru "... jangan susah hati, habis hujan datanglah terang!" (hal 18).
“Setiap orang wajib melawan kezaliman di mana pun juga kezaliman itu berada. Salahlah bagi orang memencilkan diri, dan pura-pura menutup mata terhadap kezaliman yang menimpa diri orang lain ... besar kecil kezaliman, atau ada dan tak adanya kezaliman tidak boleh diukur dengan jauhnya terjadi dari diri seseorang. Manusia di mana juga di dunia harus mencintai manusia, dan untuk menjadi manusia haruslah orang terlebih dahulu membunuh harimau di dalam dirinya. Dia kini mengerti benar apa yang dimaksud oleh Pak Haji dengan kata-katanya - bunuhlah dahulu harimau dalam dirimu ....” (hal 181)
Tuturan idiometik, majas, dan peribahasa cukup menghiasi kalimat demi kalimat dalam novel tersebut. Penggunaan kata figurative dapat memberi warna pada novel tersebut. Pembaca tidak akan merasa bosan dengan kata-kata yang monoton, karena terdapat tuturan idiometik atau kontruksi kata yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna pada unsurnya. Selain itu terdapat majas yang merupakan suatu kata yang dapat melukiskan sesuatu dengan jalan yang menyamakannya dengan sesuatu yang lain, dan peribahasa yang merupakan kelompok kata atau kalimat yang susunannya tetap dan mengiasakan maksud tertentu yang memberikan ungkapan kalimat berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, dan prinsip hidup atau tingkah laku.  
CITRAAN
Citraan dalam Harimau! Harimau! ini meliputi tujuh jenis citraan. Dari ketujuh jenis citraan dalam Harimau! Harimau!, citraan visual yang paling mendominasi dari seluruh isi novel. Disusul citraan intelektual, citraan gerak, citraan pendengaran, dan citraan perabaan. Adapun citraan penciuman dan pencecapan kurang banyak digunakan.
“Di bahagian atas hutan raya hidup siamang, beruk dan sebangsanya dan burung-burung; dan di bawah, di atas tanah, hidup harimau kumbang, gajah dan beruang; di sepanjang sungai tapir, badak, ular, buaya, rusa, kancil dan ratusan makhluk lain. Dan di dalam tanah serangga berkembang biak.” (hal. 3) 
“Tetapi pula ada bahagian yang indah dan amat menarik hati, tak ubahnya seakan hutan dalam cerita tentang dunia peri dan bidadari, hutan-hutan kecil yang dialasi oleh rumput hijau yang rata, yang seakan selalu dipelihara dan dibersihkan, dikelilingi oleh pohon-pohon cemara yang tinggi dan langsing semampai dan yang menyebarkan wangi minyak cemara ke seluruh hutan. Wak Katok menahan napasnya melihat badan Siti Ruhiyah yang terbuka dengan tiba-tiba, menyala kuning langsat ditimpa matahari. Buah dadanya tak besar, akan tetapi bagus bentuknya. Kemudian Siti Rubiyah membuka kainnya. Dia tak memakai celana dalam. Dan menyusun kainnya di atas kebayanya di atas batu. Sebentar dia berdiri telanjang bulat di sungai di atas batu, seluruh tubuhnya dicium oleh sinar matahari.” (hal 39)
“Kamar terasa seakan sesak, udara dalam kamar berat dan panas dengan bau badan Wak Hitam yang sakit, dan dia seakan merasa tak dapat bernapas di dalamnya.” (hal 47)
“Setiap orang wajib melawan kezaliman di mana pun juga kezaliman itu berada. Salahlah bagi orang memencilkan diri, dan pura-pura menutup mata terhadap kezaliman yang menimpa diri orang lain ... besar kecil kezaliman, atau ada dan tak adanya kezaliman tidak boleh diukur dengan jauhnya terjadi dari diri seseorang. Manusia di mana juga di dunia harus mencintai manusia, dan untuk menjadi manusia haruslah orang terlebih dahulu membunuh harimau di dalam dirinya. Dia kini mengerti benar apa yang dimaksud oleh Pak Haji dengan kata-katanya - bunuhlah dahulu harimau dalam dirimu ....” ( hal 181)
“Untuk membina kemanusiaan perlulah mencinta, orang sendiri tak dapat hidup sebagai manusia... ya, dia akan mencintai manusia, dia akan mulai mencintai Zaitun ... dia akan belajar dan berusaha jadi manusia yang hidup dengan manusia lain .... Buyung merasa sesuatu yang segar memasuki dirinya, seakan sebuah beban berat yang selama ini menimpa kepala dan seluruh dirinya telah terangkat. Alangkah enaknya merasa jadi manusia kembali, lepas dari ikatan takhyul, ikatan mantera dan ikatan jimat yang palsu.” ( hal.181)
Di bagian akhir novel ini, menyimpulkan seluruh kesimpulan dari kejadian yang dialami oleh pencari kayu damar, yang terdiri dari Wak Katok, Pak Haji, Sunip, Buyung, dll. Di mana dalam perjalanan ke hutan tersebut harus mengorbankan orang-orang yang berada dalam rombongan tersebut. Dengan situasi yang mistis dan penuh dengan teka-teki. Jadi, pada bagian akhir, citraan intelektual yang paling mendominasi di antara citraan lainnya.
            Novel ini terdiri atas tujuh bagian, yaitu pada bagian pertama Rombongan Pak Haji, kedua Wak Hitam, bagian ketiga Cinta Terlarang, bagian keempat Ancaman Harimau, bagian kelima Gotong Royong, bagian ke keenam Jatuhnya Korban Lagi, dan bagian keujuh Matinya harimau. Novel yang terdiri atas tujuh bagian ini menggunakan bahasa yang bernilai sastra tinggi. Bahasa yang digunakan adalah bahasa sastra lama. Ejaan-ejaannya pun masih ejaan lama yang rata-rata tidak baku. Seperti kata “mesjid” (halaman 6, baris 20), kata ini belum baku dan bakunya adalah “masjid”. “Terlambaung” (halaman 11, baris terakhir) merupakan kata dengan ejaan lama yang sekarang berubah menjadi “terlambung”. “Bagian” pun masih ditulis “bahagian”, “lubang” ditulis dengan “lobang”, “selalu” ditulis dengan “selalau”, dan “ubah” pun masih ditulis dengan “obah”. Dengan bahasa dan ejaan-ejaan lama tersebut membuat pembaca terutama pembaca yang masih awam mengalami kesulitan dalam memahami makna kalimat atau kata-katanya. Selain itu dalam novel ini banyak sekali kalimat yang diwali dengan ‘dan” serta “atau”.
            Novel ini menceritakan tentang perjalanan tujuh orang lelaki kampung yang biasa mencari damar di hutan. Perjalanan mereka dalam mencari damar ini merupakan petualangan yang amat menegangkan. Dalam perjalanan itu mereka telah merebut buruan seekor harimau tua yang kelaparan. Kemudian mereka pun dikejar-kejar oleh harimau itu. Berhari-hari mereka mencoba untuk menyelamatkan diri. Namun, satu per satu dari mereka harus menjadi korban. Mulai dari Pak Balam, Talib, dan Sutan semuanya telah menjadi korban. Selama kejar-kejaran itu, topeng-topeng ketujuh anak manusia itu pun terpaksa dibuka satu per satu. Mereka menganggap harimau kelaparan itu sebagai karma yang dikirimkan Tuhan untuk manusia-manusia yang berdosa. Bahkan orang yang mereka jadikan pemimpin adalah orang yang lebih buas daripada harimau. Sanip, seorang pemuda yang sangat ceria pun ternyata dia adalah seorang pencuri, pezinah, dan pendusta. Beberapa orang di antara mereka pun tidak berani menceritakan borok-borok yang pernah mereka lakukan selama ini. Sampai akhirnya terjadi pertengkaran antara Pak Haji dan Wak Katok. Pak Haji tertembak oleh senapan Wak Katok dan menghembuskan napas terakhirnya. Sebelum meninggal Pak Haji sempat menasehati Buyung dan Sutan bahwa sebelum membunuh harimau yang buas, sebaiknya membunuh harimau yang ada dalam hati sendiri. Dari nasihat itu Buyung pun mempunyai akal untuk menjadikan Wak Katok sebagai umpan untuk menangkap harimau buas itu. Dengan siasat itulah Buyung dan Sanip dapat melumpuhkan harimau kelaparan yang selalu mengincar mereka selama berhari-hari.

PENUTUP
Stilistika pada novel Harimau! Harimau! merupakan sarang ekspresi pengarangnya dalam mengungkapkan apa yang menjadi karyanya pada saat itu. Hasil dari novel ini merupakan cerminan ciri khas, gaya dari Muctar Lubis sebagai sastrawan dari Padang yang pernah menjadi tahanan politik. Dalam novel tersebut banyak mengandung unsur stilistika “style”, antara lain: pemajasan, citraan, dan idiometik. Hal itu merupakan manipulasi bahasa yang dapat menambah rasa pada suatu karya sastra. Pada novel ini mengajarakan pada kita akan pentingnya kesetiakawanan, himbauan agar tidak percaya dengan hal yang mistis, dan masih banyak lagi makna yang ada, meski bahasa dalam novel ini terasa fulgar.
Menurut saya novel ini mengajarkan bahwa dalam hidup harus saling tolong menolong, sebab kita tidak hidup sendiri dan tak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Setiap manusia harus belajar hidup dengan kesalahan dan kekurangan manusia lain. Kita juga harus selalu bersedia memaafkan kesalahan orang lain dan janganlah menaruh dendam kepada orang lain seperti kalimat yang terdapat dalam novel ini “Bunuhlah harimau dalam hatimu”. Selain itu juga novel ini mengingatkan kita agar kita selalu ingat kepada Tuhan, jangan percaya pada hal-hal yang bersifat tahayul. Kita juga disadarkan untuk segera bertaubat atas segala dosa-dosa yang telah kita lakukan karena sesungguhnya Tuhan dapat mengampuni segala dosa jika yang berdosa datang pada-Nya dengan kejujuran dan penyesalan yang sungguh-sungguh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar