TINJAUAN
STILISTIKA DALAM NOVEL HARIMAU! HARIMAU!:
DENGAN STYLE DAN
RETORIKA
Tinjauan
stilistika dalam novel Harimau! Harimau! (HH) terletak pada pengarang yang memberikan
atau mengungkapkan gagasannya yang ingin disampaikan kepada pembaca. Terdapat
tiga tinjauan stilistika yang terdapat pada novel HH. Pertama gaya kata yang unik dan bervariasi. Kedua bahasa
figurative, bahasa unik dan khas yang dimiliki pengarang. Ketiga terdapat
citraan, mencakup citraan visual, citraan intelektual, citraan gerak, citraan
pendengaran, citraan perabaan, citraan penciuman dan pencecapan. Dalam karya
sastra, style dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan
mengeksploistasi, memanipulasi, dan memanfaatkan segenap potensi bahasa. Sedangkan
retorika merupakan saranga kepuitisan yang berupa muslihat pikiran.
PENGANTAR
Novel Harimau! Harimau! karya Moctar Lubis pada tahun
1975 mendapat penghargaan novel terbaik pada tahun 1975. Hal tersebut
menunjukkan bahwa karya Muctar Lubis memiliki kekhasan dan ruh sastra yang
begitu menonjol. Struktur novel dengan segala sesuatu yang dikomunikasikan
selalu dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa pengarang. Demi efektivitas
pengungkapan, bahasa sastra disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan
diberdayakan sedemikian rupa melalui stilistika. Oleh karena itu, bahasa
karya sastra memiliki kekhasan yang berbeda dengan karya nonsastra, yakni penuh
ambiguitas dan memiliki kategori-kategori yang tidak beraturan dan tidak
rasional, asosiati, konotatif, dan mengacu pada teks lain atau karya sastra
yang diciptakan sebelumnya.
Stilistika berasal dari bahasa Inggris stylisties
yang berarti studi mengenai style ‘gaya bahasa’ atau ‘bahasa bergaya’.
Kata style ( bahasa Inggris) berasal dari kata Latin stilus yang
berarti alat (berujung tajam) yang dipakai untuk menulis di atas lempengan
lilin. Kata stilus kemudian dieja menjadi stylus oleh penulis-penulis
selanjutnya karena ada kesamaan makna dengan bahasa Yunani stulus (a pilor,
bahasa Inggris) yang berarti alat tulis yang terbuat dari logam, kecil, dan
berbentuk batang memiliki ujung yang tajam. Alat tersebut digunakan juga untuk
menulis di atas kertas berlapis lilin.
Adapun stilistika (stylisties) adalah ilmu yang
meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Dapat
dikatakan bahwa stilistika adalah proses menganilisis karya sastra dengan
mengkaji unsure-unsur bahasa sebagai medium karya sastra yang digunakan
sastrawan, sehingga terlihat bagaimana perlakuan sastrawan terhadap bahasa
dalam rangka menuangkan gagasannya (subject matter). Oleh sebab itu,
semua proses yang berhubungan dengan analisis bahasa karya sastra dikerahkan
untuk mengungkapkan aspek kebahasaan dalam karya sastra tersebut. amSeperti
diksi, penggunaan bahasa kias atau figurative, struktur kalaimat, bentuk-bentuk
wacana dan sarana retorika yang lain.
GAYA KATA
Terdapat
kata yang unik dan bervariasi yang digunakan pengarang. Sebagian besar bahasa
yang digunakan pada novel ini adalah bahasa Padang, karena pengarang sengaja
membuatnya sesuai dengan tanah kelahirannya. Keunikan kata pada novel Harimau! Harimau! yang paling mendasar,
dapat dilihat dari judulnya sendiri “Harimau! Harimau!” yang sengaja dibuat
berulang tanpa tanda (-) yang biasa digunakan pada tata bahasa yang benar.
Pengarang sengaja membuat hal tersebut karena dalam karya sastra, sastrawan
memiliki kebebasan untuk berbahasa. Selain itu keunikan tersebut dapat
menggugah ketertarikan pembaca. tidak hany itu saja, dalam novel ini, dari nama
tokoh-tokohnya, Wak Katok, Wak Hitam, Buyung, Sunip, Talib, dll. Pembaca yang
luar Daerah Padang, mungkin lucu mendengar nama-nama tersebut, tidak terbiasa
dan aneh. Pada novel ini selain pengarang menggunakan bahasa yang mencirikan
daerah Padang, juga penggunaan bahasa fulgar yang sering ditonjolkan.
“Matanya tak putus-putusnya
mengikuti gerak-gerik Siti Rubiyah. Perempuan muda itu yang menyangka dirinya
seorang diri di pinggir sungai dengan tenang membuka pakaiannya. Dia membuka
kebaya tuanya dan meletakkan diatas batu besar. Dia tidak memakai kutang.”
Pengarang menggunakan pilihan kata kutang memang terkesan vulgar, namun di
dalam dunia sastra hal tersebut tidak terlepas dengan ciri khas pengarangnya. Setiap
pengarang memiliki kebebasan untuk berbahasa, itulah yang dimanfaatkan semua
pengarang untuk mengekspresikan apa yang memang menjadi ide mereka. Dalam hal
ini, mungkin Muctar Lubis ingin lebih membangkitkan biharahi dari pembaca,
sehingga kesannya mereka bagaimana keaadaan Siti Rubiyang istri muda Wak Hitam
ketika mandi di sungai. Selain itu kata-kata yang terdapat pada novel ini lebih
banyak menggunakan pemilihan kata yang unik. Maksud dari unik disini ditujukan
kepada pembaca yang awam akan bahasa Padang. Karena pada novel ini sebagian
besar menggunakan bahasa Padang, jadi untuk pembaca yang kurang tahu akan
merasa aneh dan unik.
“Aduh, beginilah kalau sudah tua dan
sakit-sakit, tak ada lagi yang mengurus awak." (hal 46)
"Bini yang tua dan bini yang
muda, sama saja, tak hendak mengurus kita dengan benar." (hal 47).
Dalam hal ini, awak yang
berarti saya, kata itu memiliki kekhasan tersendiri dibanding dengan
menggunakan kata yang biasa dipakai, seperti saya atau aku. Sedangkan ‘tak
hendak mengurus kita dengan benar’, hal itu berarti ‘tidak mengurus saya dengan
benar’. Penggunaan kata ‘tak hendak’ dan ‘kita’ diaman ‘kita’ itu sebenarnya
menunjukkan objek tunggal ‘aku (Wak Hitam)’ itu juga lebih terkesan unik dan
menarik dibaca.
Namun apabila pengarang lebih banyak
menggunakan bahasa Padang, akan timbul suatu kebingungan terhadap pembaca. Pembaca
akan merasa tidak nyaman dalam membaca novel tersebut. Akibatnya banyak pembaca
yang tumbang ditengah jalan karena kurang menangkap atau kurang mengatahui
alurnya. Namun dalam novel ini pemakaian bahasa Padang masih dapat diterka oleh
pembaca. Jadi tidak ada kesan jenuh dalam membaca, justru pembaca merasa enjoy dalam mengangkap maksud dari novel
tersebut.
BAHASA FIGURATIF
Bahasa yang unik dan khas dari setiap pengarang akan
terlihat ketika kita membaca karya-karya mereka, salah satunya karya Muctar
Lubis. Bahasa figuratif pada novel Harimau!
Harimau! itu sendiri sangat dominan, meliputi pemajasan dan idiomatic.
Dengan pemanfaatan bahasa yang khas dan figurative, kesannya tidak membosankan
dan ada tulisan yang memang harus dicerna oleh pembaca untuk menerjemahkan apa
itu makna dari kalimat yang diungkapkan oleh novelis. Seperti penggunaan bahasa
figurative yang terdapat pada kutipan berikut.
“Hutan Raya terhampar di seluruh pulau, dari
tepi pantai tempat ombak-ombak samudera yang terentang hingga ke Kutub Selatan
menghempaskan diri setelah perjalanan yang amat jauhnya hingga ke puncak-puncak
gunung yang menjulang tinggi dan setiap hari diselimuti awan tebal. Hutan raya
berubah-ubah wajahnya. Yang dekat pantai merupakan hutan-hutan kayu bakau, dan
semakin jauh ke darat dan semakin tinggi letaknya, berubah pula kayu-kayu dan
tanaman di dalamnya, hingga tiba pada pohon-pohon besar dan tinggi, sepanjang
masa ditutup lumut, yang merupakan renda-renda terurai dari cabang dan dahan.”
(hal.3)
“Sebagian terbesar bagian hutan raya
tak pernah dijejak manusia dan di dalam hutan raya hidup bernapas dengan
kuatnya. Berbagai margasatwa dan serangga penghuninya mempertahankan hidup di
dalamnya. Demikian pula tanaman dan bunga-bunga anggrek, yang banyak merupakan
mahkota di puncak-puncak pohon tinggi.” (hal.3)
“Di tengah hutan yang demikian
sebuah anak sungai kecil, dengan airnya yang sejuk dan bersih mengalir,
menccraeah, menyanyi-nyanyi dan berbisik-bisik, dan akan inginlah orang tinggal
di sana selama-lamanya.” (Hal 4)
“Buyung tak tahu apa perasaan Zaitun
yang sebenarnya terhadap dirinya. Kadang-kadang Zaitun baik sekali. Jika dia
disuruh ibunya ke rumah Buyung membawa kiriman masakan, dan kebetulan Buyung
ada di rumah, maka terkadang dia baik dan manis sekali pada Buyung dan akan
tersenyum manis pula dan dia kelihatan amat cantiknya, dan menyapa Buyung
dengan "kakak" padahal. Buyung hanya setahun saja lebih tua. Jika
Zaitun demikian, maka Buyung merasa hatinya seakan terlonjak, terlambaung ke
langit yang ketujuh, dan kakinya serasa tak berpijak lagi di lantai, dan
sekelilingnya terasa olehnya terang benderang, penuh bunyi suling dan orang
menyanyi.” (hal 11)
“Buyung juga cemburu melihat Sanip
yang dengan mudah menganggap segala apa yang terjadi seperti soal yang ringan.
Kalau umpamanya mereka sedang menempuh hutan, dan turun hujan yang lebat,
hingga jalan menjadi licin dan badan mereka basah kuyup, maka Sanip dengan
gembira akan berseru "... jangan susah hati, habis hujan datanglah
terang!" (hal 18).
“Setiap orang wajib melawan
kezaliman di mana pun juga kezaliman itu berada. Salahlah bagi orang
memencilkan diri, dan pura-pura menutup mata terhadap kezaliman yang menimpa
diri orang lain ... besar kecil kezaliman, atau ada dan tak adanya kezaliman
tidak boleh diukur dengan jauhnya terjadi dari diri seseorang. Manusia di mana
juga di dunia harus mencintai manusia, dan untuk menjadi manusia haruslah orang
terlebih dahulu membunuh harimau di dalam dirinya. Dia kini mengerti benar apa
yang dimaksud oleh Pak Haji dengan kata-katanya - bunuhlah dahulu harimau dalam
dirimu ....” (hal 181)
Tuturan idiometik, majas, dan peribahasa cukup menghiasi
kalimat demi kalimat dalam novel tersebut. Penggunaan kata figurative dapat
memberi warna pada novel tersebut. Pembaca tidak akan merasa bosan dengan
kata-kata yang monoton, karena terdapat tuturan idiometik atau kontruksi kata
yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna pada unsurnya. Selain itu
terdapat majas yang merupakan suatu kata yang dapat melukiskan sesuatu dengan
jalan yang menyamakannya dengan sesuatu yang lain, dan peribahasa yang
merupakan kelompok kata atau kalimat yang susunannya tetap dan mengiasakan
maksud tertentu yang memberikan ungkapan kalimat berisi perbandingan,
perumpamaan, nasihat, dan prinsip hidup atau tingkah laku.
CITRAAN
Citraan dalam Harimau! Harimau! ini meliputi
tujuh jenis citraan. Dari ketujuh jenis citraan dalam Harimau! Harimau!,
citraan visual yang paling mendominasi dari seluruh isi novel. Disusul citraan
intelektual, citraan gerak, citraan pendengaran, dan citraan perabaan. Adapun
citraan penciuman dan pencecapan kurang banyak digunakan.
“Di bahagian atas hutan raya hidup
siamang, beruk dan sebangsanya dan burung-burung; dan di bawah, di atas tanah,
hidup harimau kumbang, gajah dan beruang; di sepanjang sungai tapir, badak,
ular, buaya, rusa, kancil dan ratusan makhluk lain. Dan di dalam tanah serangga
berkembang biak.” (hal. 3)
“Tetapi pula ada bahagian yang indah
dan amat menarik hati, tak ubahnya seakan hutan dalam cerita tentang dunia peri
dan bidadari, hutan-hutan kecil yang dialasi oleh rumput hijau yang rata, yang
seakan selalu dipelihara dan dibersihkan, dikelilingi oleh pohon-pohon cemara
yang tinggi dan langsing semampai dan yang menyebarkan wangi minyak cemara ke
seluruh hutan. Wak Katok menahan napasnya melihat badan Siti Ruhiyah yang
terbuka dengan tiba-tiba, menyala kuning langsat ditimpa matahari. Buah dadanya
tak besar, akan tetapi bagus bentuknya. Kemudian Siti Rubiyah membuka kainnya.
Dia tak memakai celana dalam. Dan menyusun kainnya di atas kebayanya di atas
batu. Sebentar dia berdiri telanjang bulat di sungai di atas batu, seluruh
tubuhnya dicium oleh sinar matahari.” (hal 39)
“Kamar terasa seakan sesak, udara
dalam kamar berat dan panas dengan bau badan Wak Hitam yang sakit, dan dia
seakan merasa tak dapat bernapas di dalamnya.” (hal 47)
“Setiap orang wajib melawan
kezaliman di mana pun juga kezaliman itu berada. Salahlah bagi orang
memencilkan diri, dan pura-pura menutup mata terhadap kezaliman yang menimpa
diri orang lain ... besar kecil kezaliman, atau ada dan tak adanya kezaliman
tidak boleh diukur dengan jauhnya terjadi dari diri seseorang. Manusia di mana
juga di dunia harus mencintai manusia, dan untuk menjadi manusia haruslah orang
terlebih dahulu membunuh harimau di dalam dirinya. Dia kini mengerti benar apa
yang dimaksud oleh Pak Haji dengan kata-katanya - bunuhlah dahulu harimau dalam
dirimu ....” ( hal 181)
“Untuk membina kemanusiaan perlulah
mencinta, orang sendiri tak dapat hidup sebagai manusia... ya, dia akan
mencintai manusia, dia akan mulai mencintai Zaitun ... dia akan belajar dan
berusaha jadi manusia yang hidup dengan manusia lain .... Buyung merasa sesuatu
yang segar memasuki dirinya, seakan sebuah beban berat yang selama ini menimpa
kepala dan seluruh dirinya telah terangkat. Alangkah enaknya merasa jadi
manusia kembali, lepas dari ikatan takhyul, ikatan mantera dan ikatan jimat
yang palsu.” ( hal.181)
Di bagian akhir novel ini, menyimpulkan seluruh kesimpulan
dari kejadian yang dialami oleh pencari kayu damar, yang terdiri dari Wak
Katok, Pak Haji, Sunip, Buyung, dll. Di mana dalam perjalanan ke hutan tersebut
harus mengorbankan orang-orang yang berada dalam rombongan tersebut. Dengan
situasi yang mistis dan penuh dengan teka-teki. Jadi, pada bagian akhir,
citraan intelektual yang paling mendominasi di antara citraan lainnya.
Novel
ini terdiri atas tujuh bagian, yaitu pada bagian pertama Rombongan Pak Haji,
kedua Wak Hitam, bagian ketiga Cinta Terlarang, bagian keempat Ancaman Harimau,
bagian kelima Gotong Royong, bagian ke keenam Jatuhnya Korban Lagi, dan bagian
keujuh Matinya harimau. Novel yang terdiri atas tujuh bagian ini menggunakan
bahasa yang bernilai sastra tinggi. Bahasa yang digunakan adalah bahasa sastra
lama. Ejaan-ejaannya pun masih ejaan lama yang rata-rata tidak baku. Seperti
kata “mesjid” (halaman 6, baris 20), kata ini belum baku dan bakunya adalah
“masjid”. “Terlambaung” (halaman 11, baris terakhir) merupakan kata dengan
ejaan lama yang sekarang berubah menjadi “terlambung”. “Bagian” pun masih
ditulis “bahagian”, “lubang” ditulis dengan “lobang”, “selalu” ditulis dengan
“selalau”, dan “ubah” pun masih ditulis dengan “obah”. Dengan bahasa dan
ejaan-ejaan lama tersebut membuat pembaca terutama pembaca yang masih awam
mengalami kesulitan dalam memahami makna kalimat atau kata-katanya. Selain itu
dalam novel ini banyak sekali kalimat yang diwali dengan ‘dan” serta “atau”.
Novel ini menceritakan tentang
perjalanan tujuh orang lelaki kampung yang biasa mencari damar di hutan.
Perjalanan mereka dalam mencari damar ini merupakan petualangan yang amat
menegangkan. Dalam perjalanan itu mereka telah merebut buruan seekor harimau
tua yang kelaparan. Kemudian mereka pun dikejar-kejar oleh harimau itu.
Berhari-hari mereka mencoba untuk menyelamatkan diri. Namun, satu per satu dari
mereka harus menjadi korban. Mulai dari Pak Balam, Talib, dan Sutan semuanya telah
menjadi korban. Selama kejar-kejaran itu, topeng-topeng ketujuh anak manusia
itu pun terpaksa dibuka satu per satu. Mereka menganggap harimau kelaparan itu
sebagai karma yang dikirimkan Tuhan untuk manusia-manusia yang berdosa. Bahkan
orang yang mereka jadikan pemimpin adalah orang yang lebih buas daripada
harimau. Sanip, seorang pemuda yang sangat ceria pun ternyata dia adalah
seorang pencuri, pezinah, dan pendusta. Beberapa orang di antara mereka pun
tidak berani menceritakan borok-borok yang pernah mereka lakukan selama ini.
Sampai akhirnya terjadi pertengkaran antara Pak Haji dan Wak Katok. Pak Haji
tertembak oleh senapan Wak Katok dan menghembuskan napas terakhirnya. Sebelum
meninggal Pak Haji sempat menasehati Buyung dan Sutan bahwa sebelum membunuh harimau
yang buas, sebaiknya membunuh harimau yang ada dalam hati sendiri. Dari nasihat
itu Buyung pun mempunyai akal untuk menjadikan Wak Katok sebagai umpan untuk
menangkap harimau buas itu. Dengan siasat itulah Buyung dan Sanip dapat
melumpuhkan harimau kelaparan yang selalu mengincar mereka selama berhari-hari.
PENUTUP
Stilistika pada novel Harimau! Harimau!
merupakan sarang ekspresi pengarangnya dalam mengungkapkan apa yang menjadi
karyanya pada saat itu. Hasil dari novel ini merupakan cerminan ciri khas, gaya
dari Muctar Lubis sebagai sastrawan dari Padang yang pernah menjadi tahanan
politik. Dalam novel tersebut banyak mengandung unsur stilistika “style”,
antara lain: pemajasan, citraan, dan idiometik. Hal itu merupakan manipulasi
bahasa yang dapat menambah rasa pada suatu karya sastra. Pada novel ini
mengajarakan pada kita akan pentingnya kesetiakawanan, himbauan agar tidak
percaya dengan hal yang mistis, dan masih banyak lagi makna yang ada, meski
bahasa dalam novel ini terasa fulgar.
Menurut saya novel ini mengajarkan bahwa dalam hidup
harus saling tolong menolong, sebab kita tidak hidup sendiri dan tak ada
manusia yang sempurna di dunia ini. Setiap manusia harus belajar hidup dengan
kesalahan dan kekurangan manusia lain. Kita juga harus selalu bersedia
memaafkan kesalahan orang lain dan janganlah menaruh dendam kepada orang lain
seperti kalimat yang terdapat dalam novel ini “Bunuhlah harimau dalam hatimu”.
Selain itu juga novel ini mengingatkan kita agar kita selalu ingat kepada
Tuhan, jangan percaya pada hal-hal yang bersifat tahayul. Kita juga disadarkan
untuk segera bertaubat atas segala dosa-dosa yang telah kita lakukan karena
sesungguhnya Tuhan dapat mengampuni segala dosa jika yang berdosa datang
pada-Nya dengan kejujuran dan penyesalan yang sungguh-sungguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar