M
Fikri Ferdiansyah
Universitas Negeri Malang, Jalan
Semarang 5 Malang
Abstrak: Karya
sastra adalah ungkapan langsung dari penulis untuk pembacanya. Pada abad ke-19
peran sastrawan, karya sastra dan pembaca dalam garis lurus yang didominasi
pengarang, setelah abad ke-20 didominasi oleh karya sastra. Terdapat berbagai
karya sastra yang diciptakan penulis untuk penikmatnya. Dalam memahami karya
sastra, pembaca sastra tentu berbeda-beda sesuai latar belakangnya. Oleh karena
itu karya sastra memiliki macam tingkatan yang berbeda sesuai kebutuhan pembaca. Setelah sampai kepada pembaca, karya sastra akan dibaca,
dihayati, dan dinikmati pembaca. Sosiologi pembaca merupakan salah satu model kajian sosiologi sastra
yang memfokuskan perhatian kepada hubungan antara karya sastra dengan pembaca. Fungsi sosial
karya sastra terhadap pembaca dapat diketahui dengan ditentukan wilayah
kajiannya, faktor-faktor sosial budaya politik yang melatarbelakangi tanggapan
pembaca, bagaimana pembaca memanfaatkan karya tertentu, dan mengumpulkan data
yang diperlukan dilanjutkan dengan memaknai data tersebut.
Kata kunci: Karya
sastra, pembaca
Karya sastra merupakan ungkapan yang ingin
disampaikan penulis terhadap pembaca. Selain itu lahirnya sebuah karya sastra
adalah untuk dapat dinikmati oleh pembaca. Sebagai
suatu keutuhan komunikasi yang berasal dari sastrawan yang menciptakan karya
sastra yang ditujukan kepada pembaca, pada hakikatnya karya sastra akan sampai
pada pembaca. Jika kita bertolak pada abad ke-19, secara historis pun peranan
sastrawan, karya sastra, dan pembaca berurutan dalam garis yang lurus
(sastrawan-karya sastra-pembaca).
Abad ke-19 sejarah sastra didominasi oleh pengarang.
Setelah abad ke-20 sejarah sastra didominasi oleh karya sastra, kemudian di
dominasi oleh pembaca pada sebagian abad selanjutnya. Pada abad ke-19 karya
sastra hanya berfungsi sebagai sarana untuk memahami pengarang dan kebudayaan
yang lebih luas. Awal abad ke-20 terjadi pergeseran dari sastra yang sebagai
sarana kepada sastra sebagai dunia yang otonom sehingga sastra dapat disusun
atas dasar perkembangan struktur intrinsiknya. Kemudian disusul dengan hadirnya
peranan pembaca setelah pemahaman terhadap karya sastra mendominasi.
PENGERTIAN
SOSIOLOGI PEMBACA
Sosiologi pembaca merupakan salah satu model kajian
sosiologi sastra yang memfokuskan perhatian kepada hubungan antara karya sastra
dengan pembaca. Menurut Wellek dan Warren (1994),
hal-hal yang menjadi wilayah
kajian sosiologi pembaca antara lain adalah permasalahan pembaca dan
dampak sosial karya sastra, serta sejauh mana karya sastra ditentukan atau bergantung dari latar sosial, perubahan, dan perkembangan sosial. Sedangkan
menurut Ian Watt (Dalam Damono, 1984), sosiologi pembaca juga mengkaji fungsi sosial sastra dan
mengkaji sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai
sosial. Jadi, berdasarkan pendapat tokoh tersebut, hal-hal
yang menjadi kajian sosiologi pembaca, yaitu dampak sosiologis karya sastra
terhadap pembaca dan fungsi sosial karya sastra.
PERMASALAHAN PEMBACA
Pembaca merupakan audiens yang dituju oleh pengarang dalam menciptakan karya
sastranya. Dalam hubungannya dengan masyarakat pembaca atau publiknya, menurut
Wellek dan Warren (1994), seorang sastrawan tidak hanya mengikuti selera
publiknya atau pelindungnya, tetapi juga dapat menciptakan publiknya.
Menurutnya, banyak sastrawan yang melakukan hal tersebut, misalnya penyair
Coleridge. Sastrawan baru, harus menciptakan cita rasa baru untuk dinikmati
oleh publiknya.
Beberapa sastrawan Indonesia, juga memiliki publik
yang berbeda-beda, sesuai dengan aliran sastra, gaya bahasa, serta isi karya
sastranya. Iwan Simatupang, Budi Darma, dan Putu Wijaya memiliki publik pembaca
yang berbeda dengan Umar Kayam, Ahmad Tohari, atau pun Pramudya Ananta Toer.
Karya-karya Iwan Simatupang, Budi Darma, dan Putu Wijaya yang berkecenderungan
beraliran surealistis, inkonvensional, dan penuh dengan renungan filosofi
mengenai hidup manusia, lebih sesuai untuk publik yang memiliki latar
belakang intelektual perguruan tinggi dan kompetensi sastra yang relatif tinggi.
Sementara karya-karya Umar Kayam dan Ahmad Tohari yang cenderung beraliran
realisme, konvensional, bicara mengenai masalah-masalah sosial budaya memiliki
publik lebih luas, hampir sebagian masyarakat pembaca Indonesia
dapat menikmati karya-karya mereka.
Latar
belakang pembaca yang membaca karya-karya pengarang tertentu
berbeda-beda. Adapun
latar belakangnya sebagai berikut.
·
Membaca karena ingin menikmatinya sebagai sebuah karya seni.
·
Membaca karena harus melakukan penelitian terhadap karya-karya sastra.
·
Membaca karena harus memilih karya-karya tertentu untuk berbagai
kepentingan, seperti menyeleksi karya-karya yang harus dijadikan bahan bacaan
wajib di sekolah (proyek Dinas Pendidikan Dasar dan Mengengah, Depdiknas).
·
Memililih karya terbaik dalam sebuah sayembara penulisan karya sastra
untuk mendapatkan penghargaan (proyek Dewan Kesenian Jakarta, Yayasan Khatulistiwa, atau Yayasan
Nobel).
·
Membaca untuk membuat resensi yang lebih berpretensi kepada promosi
sebuah karya sastra baru agar dikenal dan dipilih oleh masyarakat pembaca
secara lebih luas.
Menurut Iser, pembaca karya sastra sesungguhnya
berbeda-beda yang tentu saja akan menerima teks dengan sikap yang berbeda pula.
Perbedaan pengalaman akan sangat menentukan pemaknaan dan keberterimaan teks sastra.
Dalam kaitan ini, ada beberapa kategori pembaca, antara lain.
·
Supereader artinya, pembaca yang berpengalaman. Pembaca
semacam ini kemungkinan yang disebut pembaca akademik dan kritis. Karena mereka
akan mampu memahami hubungan semantik dan pragmatik terhadap teks sastra.
Bahkan terjadinya degresi (penyimpangan) cerita serta pemanfaatan stilistika
yang keliru pun, pembaca demikian akan mengetahuinya. Pembaca semacam ini
biasanya banyak membaca pula teori-teori sastra. Pembaca semacam ini disebut
juga pembaca ideal.
·
Informed reader artinya, pembaca yang tahu, yang berkompeten.
Pembaca ini biasanya memiliki kemampuan bahasa, semantik, dan kode sastra yang
cukup. Kategori ini sejalan dengan istilah pembaca implisit, yaitu pembaca yang
mampu menggunakan kode-kode tekstual secara menyeluruh.
·
Intented reader, yaitu pembaca yang telah berada pada benak
penulis ketika merekonstruksikan idenya. Model pembaca semacam ini telah
terbayangkan oleh penulis, misalnya pembaca anak-anak muncul pada saat seorang
pengarang menulis cerita anak. Pembaca semacam ini, meskipun sifatnya juga
masih meraba-raba, mungkin akan lebih komunikatif. Sekurang-kurangnya pemahaman
aspek bahasa dan psikologis sastranya telah terpenuhi. Kategori ini sejalan
dengan istilah real reader, actual reader, yaitu manusia yang benar-benar
melaksanakan tindakan pembacaan.
Dari tiga ragam pembaca menurut Iser di atas,
memang bukan tanpa kelemahan. Bahkan ketiganya sama sekali belum menyinggung
pembaca awam. Padahal pembaca awam sesungguhnya memiliki peran penting terhadap
makna teks. Pembaca awam kadang-kadang juga lebih objektif dan polos, sehingga
menilai karya sastra menurut pengetahuan dan visinya. Mereka lebih orisinal
dalam membaca sastra karena belum terkontaminasi dengan teori-teori.
FUNGSI SOSIAL KARYA SASTRA
Setelah sampai kepada pembaca, karya sastra akan
dibaca, dihayati, dan dinikmati pembaca. Dalam bukunya, Ars
Poetica (tahun 14 SM), Horatius (via Teeuw, 1988:183) telah mengemukakan
tugas dan fungsi karya sastra dalam masyarakat, yaitu dulce et utile (berguna dan memberi nikmat atau sekaligus
mengatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan). Apa yang dikemukakan oleh Horatius tersebut
kemudian menjadi dasar perkembangan teori pragmatik, sosiologi pembaca, dan
resepsi sastra.
Fungsi sosiologi
sastra, menurut Watt (Damono, 1984: 70-71), akan berkaitan dengan pertanyaan:
seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai seberapa jauh nilai sastra
dipengaruhi oleh nilai sosial. Dalam kaitan ini ada tiga hal yang perlu
diungkap.
·
Sudut pandang kaum romantik yang
menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi.
·
Sudut pandang bahwa karya sastra
bertugas sebagai penghibur belaka.
·
Semacam kompromi dapat dicapai dengan
meminjam selogan klasik sastra harus mengajarkan sesuatu dengan jalan
menghibur.
Dari
berbagai fungsi tersebut peneliti sosiologi sastra dapat mengonsentrasikan pada
salah satu fungsi. Dari tiga fungsi tersebut, tampak menggiring peneliti ke
arah empirik. Oleh karena tanpa data empirik yang akurat seorang peneliti hanya
akan berandai-andai berharap dengan fungsi sastra. Fungsi sastra tentu harus
digali langsung dari masyarakat.
Dalam
perkembangan selanjutnya, sosiologi sastra banyak dimanfaatkan oleh peneliti
sastra yang berbau marxis. Paham marxisme berasumsi bahwa sastra, kebudayaan,
agama pada setiap jaman – merupakan ideologi dan suprastruktur yang berkaitan
secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan
perjuangan kelas zamanya. Dengan demikian, sejarah dipandang sebagai suatu
perkembangan terus-menerus.
Penelitian
sosiologi sastra marxisme tersebut, tampaknya kurang berkembang di Indonesia.
Padahal, di Indonesia meskipun menolak system kelas juga sering ada
pertentangan anta relit dan golongan bawah. Mungkin sekali hanya istilah saja
yang berbeda, jika orang lain menggunakan istilah kelas, Indonesia mengunakan
paham pusat-daerah, wong gedeh-wong cilik
elit rakyat kecil dan seterusnya. Berbagai sekmen yang dikotomis tersebut,
ternyata juga sering menarik perhatian satrawan sehingga seharusnya juga
menarik pula bagi penelitian sosiologi satra.
Jika
bagi Marx, sastra dan kebudayaan merupakan reflek perjuangan kelas untuk
“melawan” kapitalis, di Indonesia pun hal demikian juga ada hal senada. Di
Indonesia telah lama pula terjadi perjungan kaum kecil terhadap kapitalis yang
dikenal dengan sebutan konglomerat. Hal ini telah menarik sastrawan untuk
mengekspresikan idenya bahwa konglomerat di era Orde Baru telah bergandeng
tangan dengan pemerintah sehingga menyebabkan robohnya sendi-sendi ekonomi
kerakyatan.
Berarti
hampir tak ada masyarakat yang tanpa kelas, tetapi tidak berarti bahwa
kehadiran kelas musti harus bertentangan. Di Indonesia, tanpaknya kehadiran
kelas atau lebih tepatnya strata sosial (elit rakyat) sering bersinggungan.
Persinggungan kepentingan yang melebar ke masalah kekuasaan itu, juga sering
menarik perhatian sastrawan. Itulah sebabnya, karya sastra dapat dipandang
sebagai refleksi kehidupan sosial dan kekuasaan. Karya sastra akan mengambarkan
“jarak” perbedaan sastra sosial terus-menerus. Hal semacam ini juga sering
diungkapkan melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra yang representatif,
Pada
prinsipnya, di negara barat sosiologi sastra memang lebih memusatkan perhatian
pada perangkat produksi, distribusi, dan pertukaran sastra dalam suatu
masyarakat tertentu – bagaimana buku-buku diterbitkan, bagaimana komposisi
sosial terhadap pengarang dan audiensnya, tingkat kemampuan bacanya, serta
keterbatasan sosial “selera”. Artinya membawa karya sastra juga dapat mengkaji
teks-teks sastra sebagai relevensi “sosiologi”, artinya membawa karya sastra
kedalam bentuk abstrak melalui tema-tema yang menarik sejarawan soial.
Pendapat
itu memberikan gambaran penelitian sosiologi sastra tentang dua hal. Pertama, penelitian sosiologi sastra
dapat ke arah dalam kaitannya dengan keberadaan teks sastra dan pembacanya. Kedua, teks sastra tersebut dapat
direlevansikan dengan kepentingan-kepentingan studi sosial yang lain, misalkan
sejarah sosial.
Dalam
kaitan itu, Saini KM (1986: 14-15) memberikan tiga kedudukan sastra terhadap
kehidupan (masyarakan), yakni sebagai pemekatan, penentangan, dan olok-olok.
Ketiga ini sebenarnya berkaitan dengan fungsi sastra bagi kehidupan sosial. Karya sastra sebagai pemekatan, memang
akan mengambarkan kehidupan masyarakat. Namun, gambaran itu bukan jiplakan,
disaring dan dikristalisasi kedalam imajinasi pengarang. Menentang kehidupan, misalkan pencipta tidak setuju dengan KKN
rezim Orde Baru, lalu lahir karya sastra bertema demikian. Ini berarti karya
sastra menjadi penentang jaman dan aturan yang keliru. Mengolok-olok atau mengejek kehidupan, biasanya, pencipta sangat
mahir memainkan ironi, paradoks, dan prodi ke dalam karyanya. Karena itu, sikap
sastra yang memperolok ini sangat sensitif dan perka terhadap perkembangan
zaman.
Sedangkan
kajian sosiologi pembaca
menurut Junus (1986:19), yang dipentingkan adalah reaksi dan penerimaan pembaca
terhadap karya sastra tertentu, sedangkan karya sastranya sendiri diabaikan,
menjadi periferal. Untuk melihat reaksi dan penerimaan pembaca terhadap suatu
karya sastra, menurut Lowental (via Junus, 1986:19) perlu diperhatikan iklim
sosiobudaya masyarakatnya. Hal ini karena latar belakang sosial budaya
masyarakatlah yang membentuk cita rasa dan norma-norma yang digunakan
pembaca dalam menanggapi karya sastra tertentu.
Fungsi
sosial karya sastra terhadap pembaca dapat diketahui dengan cara berikut.
·
Ditentukan wilayah kajiannya, misalnya apakah akan
membatasi pada komunitas pembaca tertentu yang membaca dan menanggapi karya
tertentu, ataukah akan meneliti juga bagaimana karya tertentu ditanggapi oleh
pembacanya.
·
Faktor-faktor sosial budaya politik yang melatarbelakangi
tanggapan pembaca.
·
Bagaimana pembaca memanfaatkan karya tertentu.
·
Mengumpulkan data yang diperlukan dilanjutkan dengan
memaknai data tersebut.
TELAAH SOSIOLOGI PEMBACA NOVEL
RONGGENG DUKUH PARUK
RDP
menekankan upacara inisiasi yang harus dilakukan oleh tokoh Srintil. Konsep
inisiasi ini bertolak dari pengertian bahwa seseorang “dianggap” dewasa setelah
melakukan upacara tertentu, misalnya upacara perpeloncohan mahasiswa baru untuk
menegaskannya sebagai mahasiswa. Upacara inisiasi harus dikaitkan dengan sumber
asalnya, yakni mitos dan realitas.
Mitos
adalah sebuah dunia kemungkinan, sesuatu yang belum pasti, tetapi mempengaruhi
kehidupan manusia. Mitos itu sendiri dibentuk oleh realita. Sebab itu, mitos
adalah realitas itu sendiri. Mitos itu juga timbul dari realitas dan keadaannya
selalu berubah-ubah sesuai pandangan pribadi atau masyarakat.
Jadi,
proses-proses inisiasi timbul dan bertolak dari mitos atau kepercayaan yang
selalu diupacarakan. Di Dukuh Paruk ada mitos bahwa Dukuh Paruk tanpa ronggeng
terasa hambar, para ibu di Dukuh Paruk itu merasa senang sekali bila anaknya
menjadi ronggeng. Di samping itu para
istri merasa bangga bila suami mereka dapat bertayub dengan ronggeng.
Untuk
menjadi ronggeng itu sendiri timbul mitos bahwa seorang ronggeng sejati bukan
hasil pengajaran melainkan indang (semacam wangsit yang dimuliahkan dari dunia
peronggengan) telah merasuki tubuhnya. Bila hal itu di Dukuh Paruk, maka Dukuh
itu berada pada citra yang sebenarnya dan arwah Ki Secamenggala akan terbahak
di kuburnya.
Dengan
penampilan mitos dan upacara tersebut, novel RDP dapat dilihat sebagai berikut:
·
Pengukuhan (myth of concern) terhadap mitos dan upacara. Hal ini dapat dilihat
dari presepsi Srintil yang menganggap upacara sebagai keharusan, dan karenanya
ia tak memberontak upacara itu. Ia melihatnya sebagai sesuatu yang wajar,
berperilaku sebagai orang lugu, semua yang dialami dianggapnya sebagai hukum
keharusan sehingga harus diterima secara pasrah. Ia merasa sakit dibagaian
perutnya pada upacara buka kelambu, tapi ia tetap bertahan pada posisinya.
·
Kepergian Rasus merupakan reaksi tidak
setuju (myth of freedom) terhadap
mitos dan upacara. Dalam presepsinya Srintil adalah figur tempat ia menemukan
profil ibunya. Ia tidak mau bersetubuh dengan Srintil di dekat kuburan Ki
Secamenggala, meskipun atas ajakan Sritil bukan karena ia takut akan
kekeramatan kuburan itu, melainkan karena tubuh Srintil dianggapnya sebagai
tubuh ibunya sendiri.
Sebenarnya
Rasus sangat memberontak terhadap mitos-mitos dan upacara-upacara itu, terutama
upacara bukak kelambu yang dianggapnya sebagai arena pembantaian atau
penjagalan. Membayangkan hal itu ia merasa muak bercampur marah sebab melalui
upacara itu mustika yang diharagai selama ini musnah sudah. Rasus merasa sangat
kehilangan karena Srintil telah menjadi milik umum. Ia sangat menghargai
Srintil yang tidak mau menempuh upacara bukak kelambu dan memutuskan tidak
menjadi ronggeng, tetapi ia tidak punya kekuatan untuk menolak hukum keharusan
itu. Merasa tidak bisa berkompromi lagi dangan nilai-nilai lama sebagai warisan
leluhurnya, Rasus akhirnya meninggalkan pedukuhannya yang terpencil itu untuk
mencari pengalaman hidup atau kompensasi. Tetapi agaknya Tohari optimis, “Aku,
Rasus, sudahh menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk akan ku tinggalkan.” (RDP,
hal:178).
Cerita
yang terdiri atas empat bagian ini lebih terasa sebagai simbol dari pada cerita
kisah ini merupakan penyampaian dalam bentuk lain. RDP mengemukakan sebuah tema
yang sangat manusiawi. Seorang pemuda melihat kemusnahan impiannya tentang
wanita ideal, sebagai ibu sekaligus kekasih, sehingga melenyapkan cinta kasih
yang murni, daya khayal, dan rasa kebersamaan. Tema itu lazim dikenal dalam
masyarakat barat, sehingga tema novel RDP boleh dikatakan bersifat Universal.
Untuk
melukiskan keindahan dan keserasihan alam digunakan citraan-citraan yang
menyarankan adanya hubungan saling berpengaruh, saling bergantung antara
tumbuh-tumbuhan dan binatang, misalnya:
“demikian
kearifan alam mengatur agar pohon randu tidak tumbuh berdekatan biayanya.” Atau
“Pohon dadap memilih cara yang hampir sama bagi penyebaran jenisnya.” (RDP,
hal:6).
“pada
saat demikian kampret harus mau melalap daun waru agar jenisnya lestari.” (RDP,
hal:14).
Kecuali
citraan yang menggambarkan keserasian alam. Tohari memilih perdampingan dalam
pengertian umpatan dan perbandingan manusia-binatang, misalnya:
“Rasus memanjat, cepat seperti
seekor monyet.” (RDP, hal:10)
“Tetapi
Santayih mendengarnya sebagai hiruk pikuk suara ribuan monyet …” (RDP, hal:39)
“Aku
tidur melingkar seperti Trenggiling” (RDP, hal:85)
“Melihat
Srintil telanjang bulat di hadapanku, aku teringat kambing jantanku bila sedang
birahi.” (RDP, hal:103)
Perbandingan-perbandingan
membayangkan keakraban penderitaan dengan lingkungan yang melahirkan dan
membesarkan. Sedang perbandingan dalam pengertian umpatan membuktikan tata
kemasyarakatan warga Dukuh Paruk sangat longgar dalam hal moral atau tata
susila.
“Santayib. Engkau anjing! Asu
buntung!” (RDP, hal:34).
“Bajingan! Kalian semua bajingan
tengik!” (RDP, hal:35).
“Kartareja memang bajingan, bajul
bunting!” (RDP, hal:75).
“Sulam, jangkrik kamu!” (RDP,
hal:113)
Kekuatan
pelukisan latar tempat dan latar sosial yang terasingkan dari desa lain dan
dengan demikian memiliki nilai tersendiri, juga banyak diramaikan oleh
banyaknya jenis satwa yang terdapat di dalamnya. RDP-lah yang berhasil
menghimpun begitu banyak jenis binatang di dalamnya, meski latar tempatnya
hanya “Gerumbul kecil di tengah padang yang amat luas”.
Sebagai
dukuh “terasing” sebenarnya Paruk menjadi latar yang menguntungkan Tohari untuk
menggarap alur dan tokoh-tokohnya. Pertama, penggambaran masyarakat yang lugu
terasa menyimpang dari alam pikir tradisional. Tetapi di Dukuh Paruk
pelanggaran etika dan kerukunan tampak “dihalalkan”, apakah hal semacam ini
merupakan warisan Ki Secamenggala yang semasa hidupnya dikenal sebagai bromocoran? Atau memang demikian
“kerukunan” versi Dukuh Paruk? Yang jelas:
“Di
sana (Dukuh Paruk) seorang suami misalnya, tidak perlu berkelahi bila suatu
saat menangkap basah istrinya sedang tidur bersama laki-laki tetangga. Suami
tersebut telah tahu cara bertindak yang lebih praktis, mendatangi istri
tetangga itu dan menidurinya. Habis segala urusan!” (RDP, hal:136).
“Di
sana di Dukuh Paruk, aku juga tahu ada obat bagi perempuan-perempuan mandul.
Obat itu bernama lingga, kependakan dari kata yang berarti penis tetangga.”
(RDP, hal:137).
Kedua,
penggambaran watak Rasus kurang dapat dipahami dari segi cultural maupun
psikologis. Rasus tidak jarang tampak terlalu bodoh, tidak jarang pula terlalu
pintar dalam memahami nilai-nilai yang dihadapinya. Rupanya pengarang terlalu
meyakini dan membesar-besarkan makana ungkapan jalma tan kena kinira, sehingga kurang member posisi yang cukup dan
wajar bagi munculnya kesadaran cultural tokohnya.
Ketiga,
memotret sosok kehidupan masyarakat lama, tetapi yang muncul justru warna
kebudayaan muda dan sifat-sifat tokoh yang tidak mencerminkan akar-akar budaya
yang kuat. Novel ini ingin memperlihatkan nilai-nilai yang serba goya, tetapi
keinginan ini tidak kesampaian justru karena sifat kebromocorahan yang lebih mencuat.
Akibat
negative dari penggambaran kebobrokan moral dan kejahatan seksual yang sangat
menonjol dalam RDP ini adalah kemungkinan timbulnya kesan “pembenaran” hubungan
seksual di luar nikah. Kemungkinan salah tafsir selalu ada karena cerita
disampaikan secara simbolis melalui lakuan-lakuan dan antagonis cerita sama
sekali tidak memberi komentar baik-buruk bid’ah budaya.
Sekecil
apapun, RDP telah menguyuhkan kepada pembaca seperangkat informasi, khususnya
yang berkaitan dengan seluk-beluk dunia peronggengan beserta nilai-nilai kehidupan
yang terkandung di dalamnya, kesenian ronggeng merupakan ciri khas kebudayaan
daerah. Kebudayaan daerah itu sendiri merupakan unsure penting dalam kerangka
identitas nasional.
Penutup
Pada
dasarnya, karya sastra sangat bermanfaat bagi kehidupan, karena karya sastra
dapat memberi kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup,
walaupun dilukiskan dalam bentuk fiksi. Karya sastra dapat memberikan
kegembiraan dan kepuasan batin. Hiburan ini adalah jenis hiburan intelektual
dan spiritual. Karya sastra juga dapat dijadikan sebagai pengalaman untuk
berkarya, karena siapa pun bisa menuangkan isi hati dan pikiran dalam sebuah
tulisan yang bernilai seni.
Daftar Rujukan
Damono,
Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Departemen dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metode Penelitian
Sastra: Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS.
Junus, Umar. 1986. Sosiologi
Sastra: Persoalan Teori dan Metode.
Yogyakarta: Gramedia.
Sumardjo, Jakob dan Saini, K.M. 1986. Apresiasi
Kesusatraan. Jakarta: Gramedia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori,
Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tohari, A. 2004. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama
Wellek Renne & Austin Werren. 1994. Teori
Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.
Teeuw, A.
1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Jaya.
Yournata, Andrian. 2014. Sosiologi Pengarang,
Karya Sastra, dan Pembaca, (Online), (http://ilmubahasajawa.wordpress.com/2014/01/05/sosiologi-pengarang-karya-sastra-dan-pembaca/)
, diakses tanggal 14 November 2016.