Iklan

Jumat, 17 Februari 2017

ANALISIS TEATER “POLISI” DAN “BUNGA DOLLY” DENGAN PENDEKATAN SEMIOTIKA



PENDAHULUAN

Sebagai makhluk yang hidup di dalam masyarakat dan selalu melakukan interaksi dengan masyarakat lainnya tentu membutuhkan suatu alat komunikasi agar bisa saling memahami tentang suatu hal. Apa yang perlu dipahami? Banyak hal salah satunya adalah tanda. Supaya tanda itu bisa dipahami secara benar dan sama membutuhkan konsep yang sama supaya tidak terjadi misunderstanding atau salah pengertian. Namun pada kenyataannya tanda itu tidak selamanya bisa dipahami secara benar dan sama di antara masyarakat. Setiap orang memiliki interpretasi makna tersendiri dan tentu saja dengan berbagai alasan yang melatar belakanginya. Ilmu yang membahas tentang tanda disebut semiotik ( the study of signs). Masyarakat selalu bertanya apa yang dimaksud dengan tanda? Banyak tanda dalam kehidupan sehari-hari kita seperti tanda-tanda lalu lintas, tanda -tanda adanya suatu peristiwa atau tanda -tanda lainnya. Semiotik meliputi studi seluruh tanda -tanda tersebut sehingga masyarakat berasumsi bahwa semiotik hanya meliputi tanda -tanda visual (visual sign). Di samping itu sebenarnya masih banyak hal lain yang dapat kita jelaskan seperti tanda yang dapat berupa gambaran, lukisan dan foto sehingga tanda juga termasuk dalam seni dan fotografi. Atau tanda juga bisa mengacu pada kata-kata, bunyi-bunyi dan bahasa tubuh (body language).
Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sobur, 2004:95). Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:1). Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek -obyek, peristiwa -peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Ahli sastra Teew (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat manapun.


PEMBAHASAN

ANALISIS SEMIOTIKA PADA TEATER POLISI
Terdapat lima tokoh pada drama polisi tesebut yang masing-masing saling bertukar pendapat tentang suatu masalah. Masalah tersebut adalah kebingungan polisi itu sendiri tentang siapa yang harus mereka tangkap. Sebab jika para polisi itu tidak dapat menangkap seseorang mereka akan mendapat hukuman dari atasannya. Karena kebingungan tersebut mereka terpaksa dan berusaha mencari seseorang untuk mereka tangkap. Mereka menggunakan suatu alat untuk dapat melihat sesuatu dari jarak yang jauh. Ketika  para polisi tersebut melihat seseorang yang berdasi mereka berusaha umtuk menangkapnya, namun ternyata orang berdasi tersebut adalah anak SD, jadi mereka tidak jadi menangkapnya. Mereka banyak mengincar seseorang namun tetap yang didapat adalah kegagalan. Meskipun segala cara dan musyawarah telah mereka lakukan namun tetap gagal. Hingga akhirnya para polisi tersebut menyerah dan merasa tugasnya tersebut terlalu berat. Datanglah seorang polisi lalulintas yang sedang mengatur jalan raya. Kelima polisi tersebut hanya melihat apa saja yang dilakukan dan dikerjakan polantas tersebut. Karena pekerjaan polantas itu hanya mengatur lalu lintas jadi para polisi tersebut merasa tertarik dan ingin memiliki pekerjaan itu. Namun ternyata pekerjaan polantas tersebut tidak semudah yang mereka lihat. Lalu mereka mencari-cari pekerjaan yang menurut mereka mudah. Karena mereka terlalu lelah untuk itu, jadi beberapa dari mereka mencoba mencari pekerjaan lain yang jauh dari profesinya, yaitu menjadi koruptor. Lalu mereka ribut dan saling menyalahkan dan bingung untuk menangkap siapa.
          Terdapat beberapa penanda dan petanda pada drama polisi, anatara lain seperti kata “tangkap-menagkap siapa yang harus di tangkap”. Maksud dari kata tersebut adalah perbuatan seorang polisi yang sering menangkap seseorang padahal seharusnya tidak mendapat hukuman. Justru seseorang yang seharusnya mendapat hukuman berat justru dibebaskan dan tidak mendapatkan hukuman. Contohnya seseorang yang memiliki uang ketika terkena pelanggaran lalu lintas, sampai koruptor kelas atas yang nasipnya hanya menjadi bahan pembicaraan dan tidak ada kepastian hukum. Selain itu ada senjata yang dibawa polisi tersebut berbeda-beda. Hal tersebut diperumpamakan sifat dari seorang polisi yang berbeda-beda. Selain itu ada teropong. Maksud dari teropong tersebut adalah sebuah pandangan seorang polisi tentang cara dia menilai seseorang, baik dari penampilan, harta, maupun jabatan. 

ANALISIS SEMIOTIKA PADA TEATER BUNGA DOLLY
      Pada teater bunga dolly menceritakan tentang suatu lika-liku perjalanan hidup seorang anak perempuan. Dulunya dia merupakan seorang anak yang sangat bahagia, karena hari-harinya selalu bermain bersama dengan kedua orang tuanya. Kasih sayang dan perhatian selalu dia dapatkan dari orang tuanya. Namun ketika dia ditinggal mati kedua orang tuanya dengan keadaan masih belum dewasa, dia dituntut untuk bisa bertahan hidup ditengah kerasnya kehidupan. Namun dia tidak bisa menjalani hidupnya layaknya orang pada umumnya, dan dia terpaksa menjual diri untuk memenuhi kehidupannya. Sampai akhirnya dia menikah dan memiliki empat anak. Namun kehidupannya penuh dengan penderitaan hidup, karena setelah suaminya meninggal, anak pertamanya diperkosa dan anak keduanya mati bunuh diri, lalu anak ketiganya dipenjara karena kasus pengedaran narkoba. Dia hanya hidup sendiri dengan anak bungsunya yang masih kecil. Karena dia tidak memiliki keahlian khusus jadi terpaksa dia menjual diri lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya. Sebenarnya dia malu akan hal tersebut, karena desakkan biaya hiduplah yang membuatnya demikian.  Sampai akhirnya anak bungsunya pun mengikuti apa yang telah menjadi pekerjaannya.
          Terdapat beberapa penanda dan petanda pada drama bunga dolly, seperti kotak persegi yang mengurungnya disaat awal pementasan. Kotak tersebut sebagai petanda bahwa dia dikurung dalam kehidupan seks yang sudah menjadi pekerjaan pokok. Baginya tidak ada cara lain selain pekerjaan tersebut yang bisa mendapatkan uang demi kelangsungan hidupnya dan anaknya. Selain itu terdapat pita yang meliliti tubuhnya. Pita tersebut diibaratkan sebagai harga diri yang dimilikinya, sebab semakin hari semakin habis karena banyaknya permintaan laki-laki terhadpnya. Hingga akhirnya habis sudah harga dirinya, sampai dia hanya dihargai dua puluh ribu oleh tukang becak. Selain itu baju yang dipakainya yang semakin hari semakin terlepas. Itu juga menandakan suatu harga diri yang dia miliki. Penanda selanjutnya adalah bentuk bunga dan lingkaran yang terdapat di empat tiang. Arti dari simbol tersebut adalah area, kawasan, atau daerah tempat yang digunakan para PSK melayani pelanggannya dan selain itu juga sebagai tanda keberadaannya. Yang terakhir adalah seorang anak yang tidak diperhatikan ibunya namun setelah mengikuti profesi ibnunya dia justru mendapat perhatian. Maksud dari hal tersebut adalah ketika seorang ibu sibuk dengan segala urusannya mungkin sampai lupa akan kewajibannya sebagai pemberi kasih sayang kepada anak. Lalu sebaliknya, dalam cerita tersebut jika seorang anak sudah mulai dewasa dan memiliki pekerjaan justru seorang ibu merasa bangga dengan apa yang telah dilakukan anaknya. Selain itu karena sang anak melakukan apa yang telah dilakukan ibunya ia beranggapan apa yang dilakukannya benar, karena apapun yang dilakukan seorang ibu itu pasti yang terbaik.

PENUTUP
Cerita yang terdapat dalam teater tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan semiotika, yaitu dicari penanda dan unsur yang menandainya. Semiotika sendiri dapat dicari tidak hanya dalam sebuah teater, tetapi bisa juga dalam bentuk teks sastra, teks non-sastra, dan bahkan kehidupan langsung. Dengan tujuan mencari segala sesuatu yang berhubungan dengan suatu sistem dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu semiotika sendiri juga juga dapat mengetahui makna atau pesan dan kesan dalam sebuah video, iklan, teks sastra, dan sebagainya. Pendekatan dalam analisis taeter adalah pendekatan semiotik antara penanda dan petanda yang kajiannya dikaitkan dengan masalah ekspresi, manusia, bahasa, situasi, isyarat, stilistika, dan sebagainya.
Pada kedua teater tersebut dijelaskan bahwa semiotika berguna dengan cabang ilmu lainnya seperti sosiologi, psikologi, antropologi, filsafat, dan sebagainya. Terutama  Pada teater yang kedua yaitu bunga dolly, jalas terlihat bahwa cerita tersebut sangat terhubung pada cabang ilmu sosiologi. Karena inti dari cerita tersebut mengarah ke kehidupan pribadi seorang perempuan dan bagaimana cara dia melewati masa sulit dalam menjalani sebuah kehidupan. Dari kedua teater tersebut telah dibahas dan dapat ditemikan unsur semiotikanya bergantung dari isi ceritanya tersebut.

DAFTAR RUJUKAN
Sobur, Alex, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004)
     Van Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan
Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993)
Teew, A., Khasanah Sastra Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1984)

TURONGGO YAKSO



Turonggo yakso berasal dari dongko dengan nama awal baritan (bubar ngarit tanduran) sehabis panen akan panen lagi. Sebagai rasa terimakasih terhadap Allah SWT mereka mengadakan pesta/tasyakuran yang berlokasi di sawah dengan membawa uborampe (keperluan tasyakuran) spt jenang abang, jenang jengkolo dll. Selain rasa syukur telah diberikan panene malimpah, juga hewan peliharaan yang digunakan untuk keperluan sawah juga diberi kesehatan dan terhindar dari penyakit. Pengharapan dari baritan itu sendiri setelah sawah mengalami masa panen para warga berharap untuk panen yang aka datang minimal hasil yang di dapat seperti panaen yang sekarang, syukur juka melebihi.
Sehabis tasyakuran, para warga pulang kerumah dengan bersenang-senang dan menari sambil memukul-mukul ember dan menaiki wadah uborampe. Sampai akhirnya pada tahun 1962 tokoh masyarakat yang bernama Pak Pamrin dan kakaknya Pak Mun’an menciptakan turonggo yakso, yaitu turonggo itu jaran/kuda yakso itu buto/raksasa.
Selain Turonggo Yakso, jenis jaranan di Trenggalek berupa:
-          Jaranan Pegon
-          Jaranan Sentherewe
-          Jaranan Breng
-          Jaranan Dor
-          Jaranan Campur Sari
Namun kelima jenis jaranan tersebut juga tersebar di luar Trenggalek, jadi pemerintah Trengalek berharap memiliki salah satu jaranan khas yang tidak di miliki kota lain, entah cara menarinya maupun cara perawatannya. Kuda yang digunakan penari Turonggo Yakso memiliki 4 filosofis, yaitu akaluamah, amarah, mutakinah, sufiyah yang merupakan 4 jenis hawa nafsu manusia. Oleh karena itu kuda tersebut dikendalikan oleh generasi muda yang kinaceh, maksudnya adalah pemuda yang ungul, jauh dari narkoba, minuman keras, dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, hingga akhirya nafsu tadi dapat dikendalikan. Seperti pada penari Turonggo Yakso yang menari menggunakan kuda tersebut digambarkan dapat menguasai hawa nafsu.  

FUNGSI SOSIAL KARYA SASTRA TERHADAP PEMBACA



M Fikri Ferdiansyah
Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang


Abstrak: Karya sastra adalah ungkapan langsung dari penulis untuk pembacanya. Pada abad ke-19 peran sastrawan, karya sastra dan pembaca dalam garis lurus yang didominasi pengarang, setelah abad ke-20 didominasi oleh karya sastra. Terdapat berbagai karya sastra yang diciptakan penulis untuk penikmatnya. Dalam memahami karya sastra, pembaca sastra tentu berbeda-beda sesuai latar belakangnya. Oleh karena itu karya sastra memiliki macam tingkatan yang berbeda sesuai kebutuhan pembaca. Setelah sampai kepada pembaca, karya sastra akan dibaca, dihayati, dan dinikmati pembaca. Sosiologi pembaca merupakan salah satu model kajian sosiologi sastra yang memfokuskan perhatian kepada hubungan antara karya sastra dengan pembaca. Fungsi sosial karya sastra terhadap pembaca dapat diketahui dengan ditentukan wilayah kajiannya, faktor-faktor sosial budaya politik yang melatarbelakangi tanggapan pembaca, bagaimana pembaca memanfaatkan karya tertentu, dan mengumpulkan data yang diperlukan dilanjutkan dengan memaknai data tersebut.
Kata kunci: Karya sastra, pembaca
Karya sastra merupakan ungkapan yang ingin disampaikan penulis terhadap pembaca. Selain itu lahirnya sebuah karya sastra adalah untuk dapat dinikmati oleh pembaca. Sebagai suatu keutuhan komunikasi yang berasal dari sastrawan yang menciptakan karya sastra yang ditujukan kepada pembaca, pada hakikatnya karya sastra akan sampai pada pembaca. Jika kita bertolak pada abad ke-19, secara historis pun peranan sastrawan, karya sastra, dan pembaca berurutan dalam garis yang lurus (sastrawan-karya sastra-pembaca).
Abad ke-19 sejarah sastra didominasi oleh pengarang. Setelah abad ke-20 sejarah sastra didominasi oleh karya sastra, kemudian di dominasi oleh pembaca pada sebagian abad selanjutnya. Pada abad ke-19 karya sastra hanya berfungsi sebagai sarana untuk memahami pengarang dan kebudayaan yang lebih luas. Awal abad ke-20 terjadi pergeseran dari sastra yang sebagai sarana kepada sastra sebagai dunia yang otonom sehingga sastra dapat disusun atas dasar perkembangan struktur intrinsiknya. Kemudian disusul dengan hadirnya peranan pembaca setelah pemahaman terhadap karya sastra mendominasi.

PENGERTIAN SOSIOLOGI PEMBACA
Sosiologi pembaca merupakan salah satu model kajian sosiologi sastra yang memfokuskan perhatian kepada hubungan antara karya sastra dengan pembaca. Menurut Wellek dan Warren (1994), hal-hal yang menjadi wilayah kajian sosiologi pembaca antara lain adalah permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra, serta sejauh mana karya sastra ditentukan atau bergantung dari latar sosial, perubahan, dan perkembangan sosial. Sedangkan menurut Ian Watt (Dalam Damono, 1984), sosiologi pembaca juga mengkaji fungsi sosial sastra dan mengkaji sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial. Jadi, berdasarkan pendapat tokoh tersebut, hal-hal yang menjadi kajian sosiologi pembaca, yaitu dampak sosiologis karya sastra terhadap pembaca dan fungsi sosial karya sastra.

PERMASALAHAN PEMBACA
Pembaca merupakan audiens yang dituju oleh pengarang dalam menciptakan karya sastranya. Dalam hubungannya dengan masyarakat pembaca atau publiknya, menurut Wellek dan Warren (1994), seorang sastrawan tidak hanya mengikuti selera publiknya atau pelindungnya, tetapi juga dapat menciptakan publiknya. Menurutnya, banyak sastrawan yang melakukan hal tersebut, misalnya penyair Coleridge. Sastrawan baru, harus menciptakan cita rasa baru untuk dinikmati oleh publiknya.
Beberapa sastrawan Indonesia, juga memiliki publik yang berbeda-beda, sesuai dengan aliran sastra, gaya bahasa, serta isi karya sastranya. Iwan Simatupang, Budi Darma, dan Putu Wijaya memiliki publik pembaca yang berbeda dengan Umar Kayam, Ahmad Tohari, atau pun Pramudya Ananta Toer. Karya-karya Iwan Simatupang, Budi Darma, dan Putu Wijaya yang berkecenderungan beraliran surealistis, inkonvensional, dan penuh dengan renungan filosofi mengenai hidup manusia, lebih sesuai untuk publik yang memiliki latar belakang intelektual perguruan tinggi dan kompetensi sastra yang relatif tinggi. Sementara karya-karya Umar Kayam dan Ahmad Tohari yang cenderung beraliran realisme, konvensional, bicara mengenai masalah-masalah sosial budaya memiliki publik  lebih luas, hampir sebagian masyarakat pembaca Indonesia dapat menikmati karya-karya mereka.
Latar belakang pembaca yang membaca karya-karya pengarang tertentu berbeda-beda. Adapun latar belakangnya sebagai berikut.
·             Membaca karena ingin menikmatinya sebagai sebuah karya seni.
·             Membaca karena harus melakukan penelitian terhadap karya-karya sastra.
·             Membaca karena harus memilih karya-karya tertentu untuk berbagai kepentingan, seperti menyeleksi karya-karya yang harus dijadikan bahan bacaan wajib di sekolah (proyek Dinas Pendidikan Dasar dan Mengengah, Depdiknas).
·             Memililih karya terbaik dalam sebuah sayembara penulisan karya sastra untuk mendapatkan penghargaan (proyek Dewan Kesenian Jakarta, Yayasan Khatulistiwa, atau Yayasan Nobel).
·             Membaca untuk membuat resensi yang lebih berpretensi kepada promosi sebuah karya sastra baru agar dikenal dan dipilih oleh masyarakat pembaca secara lebih luas.
Menurut Iser, pembaca karya sastra sesungguhnya berbeda-beda yang tentu saja akan menerima teks dengan sikap yang berbeda pula. Perbedaan pengalaman akan sangat menentukan pemaknaan dan keberterimaan teks sastra. Dalam kaitan ini, ada beberapa kategori pembaca, antara lain.
·         Supereader artinya, pembaca yang berpengalaman. Pembaca semacam ini kemungkinan yang disebut pembaca akademik dan kritis. Karena mereka akan mampu memahami hubungan semantik dan pragmatik terhadap teks sastra. Bahkan terjadinya degresi (penyimpangan) cerita serta pemanfaatan stilistika yang keliru pun, pembaca demikian akan mengetahuinya. Pembaca semacam ini biasanya banyak membaca pula teori-teori sastra. Pembaca semacam ini disebut juga pembaca ideal.
·         Informed reader artinya, pembaca yang tahu, yang berkompeten. Pembaca ini biasanya memiliki kemampuan bahasa, semantik, dan kode sastra yang cukup. Kategori ini sejalan dengan istilah pembaca implisit, yaitu pembaca yang mampu menggunakan kode-kode tekstual secara menyeluruh.
·         Intented reader, yaitu pembaca yang telah berada pada benak penulis ketika merekonstruksikan idenya. Model pembaca semacam ini telah terbayangkan oleh penulis, misalnya pembaca anak-anak muncul pada saat seorang pengarang menulis cerita anak. Pembaca semacam ini, meskipun sifatnya juga masih meraba-raba, mungkin akan lebih komunikatif. Sekurang-kurangnya pemahaman aspek bahasa dan psikologis sastranya telah terpenuhi. Kategori ini sejalan dengan istilah real reader, actual reader, yaitu manusia yang benar-benar melaksanakan tindakan pembacaan.
Dari tiga ragam pembaca menurut Iser di atas, memang bukan tanpa kelemahan. Bahkan ketiganya sama sekali belum menyinggung pembaca awam. Padahal pembaca awam sesungguhnya memiliki peran penting terhadap makna teks. Pembaca awam kadang-kadang juga lebih objektif dan polos, sehingga menilai karya sastra menurut pengetahuan dan visinya. Mereka lebih orisinal dalam membaca sastra karena belum terkontaminasi dengan teori-teori.

FUNGSI SOSIAL KARYA SASTRA
Setelah sampai kepada pembaca, karya sastra akan dibaca, dihayati, dan dinikmati pembaca. Dalam bukunya, Ars Poetica (tahun 14 SM), Horatius (via Teeuw, 1988:183) telah mengemukakan tugas dan fungsi karya sastra dalam masyarakat, yaitu dulce et utile (berguna dan memberi nikmat atau sekaligus mengatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan). Apa yang dikemukakan oleh Horatius tersebut kemudian menjadi dasar perkembangan teori pragmatik, sosiologi pembaca, dan resepsi sastra.
Fungsi sosiologi sastra, menurut Watt (Damono, 1984: 70-71), akan berkaitan dengan pertanyaan: seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial  dan sampai seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial. Dalam kaitan ini ada tiga hal yang perlu diungkap. 
·         Sudut pandang kaum romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi.
·         Sudut pandang bahwa karya sastra bertugas sebagai penghibur belaka.
·         Semacam kompromi dapat dicapai dengan meminjam selogan klasik sastra harus mengajarkan sesuatu dengan jalan menghibur.
Dari berbagai fungsi tersebut peneliti sosiologi sastra dapat mengonsentrasikan pada salah satu fungsi. Dari tiga fungsi tersebut, tampak menggiring peneliti ke arah empirik. Oleh karena tanpa data empirik yang akurat seorang peneliti hanya akan berandai-andai berharap dengan fungsi sastra. Fungsi sastra tentu harus digali langsung dari masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, sosiologi sastra banyak dimanfaatkan oleh peneliti sastra yang berbau marxis. Paham marxisme berasumsi bahwa sastra, kebudayaan, agama pada setiap jaman – merupakan ideologi dan suprastruktur yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas zamanya. Dengan demikian, sejarah dipandang sebagai suatu perkembangan terus-menerus.
Penelitian sosiologi sastra marxisme tersebut, tampaknya kurang berkembang di Indonesia. Padahal, di Indonesia meskipun menolak system kelas juga sering ada pertentangan anta relit dan golongan bawah. Mungkin sekali hanya istilah saja yang berbeda, jika orang lain menggunakan istilah kelas, Indonesia mengunakan paham pusat-daerah, wong gedeh-wong cilik elit rakyat kecil dan seterusnya. Berbagai sekmen yang dikotomis tersebut, ternyata juga sering menarik perhatian satrawan sehingga seharusnya juga menarik pula bagi penelitian sosiologi satra.
Jika bagi Marx, sastra dan kebudayaan merupakan reflek perjuangan kelas untuk “melawan” kapitalis, di Indonesia pun hal demikian juga ada hal senada. Di Indonesia telah lama pula terjadi perjungan kaum kecil terhadap kapitalis yang dikenal dengan sebutan konglomerat. Hal ini telah menarik sastrawan untuk mengekspresikan idenya bahwa konglomerat di era Orde Baru telah bergandeng tangan dengan pemerintah sehingga menyebabkan robohnya sendi-sendi ekonomi kerakyatan.
Berarti hampir tak ada masyarakat yang tanpa kelas, tetapi tidak berarti bahwa kehadiran kelas musti harus bertentangan. Di Indonesia, tanpaknya kehadiran kelas atau lebih tepatnya strata sosial (elit rakyat) sering bersinggungan. Persinggungan kepentingan yang melebar ke masalah kekuasaan itu, juga sering menarik perhatian sastrawan. Itulah sebabnya, karya sastra dapat dipandang sebagai refleksi kehidupan sosial dan kekuasaan. Karya sastra akan mengambarkan “jarak” perbedaan sastra sosial terus-menerus. Hal semacam ini juga sering diungkapkan melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra yang representatif,
Pada prinsipnya, di negara barat sosiologi sastra memang lebih memusatkan perhatian pada perangkat produksi, distribusi, dan pertukaran sastra dalam suatu masyarakat tertentu – bagaimana buku-buku diterbitkan, bagaimana komposisi sosial terhadap pengarang dan audiensnya, tingkat kemampuan bacanya, serta keterbatasan sosial “selera”. Artinya membawa karya sastra juga dapat mengkaji teks-teks sastra sebagai relevensi “sosiologi”, artinya membawa karya sastra kedalam bentuk abstrak melalui tema-tema yang menarik sejarawan soial.
Pendapat itu memberikan gambaran penelitian sosiologi sastra tentang dua hal. Pertama, penelitian sosiologi sastra dapat ke arah dalam kaitannya dengan keberadaan teks sastra dan pembacanya. Kedua, teks sastra tersebut dapat direlevansikan dengan kepentingan-kepentingan studi sosial yang lain, misalkan sejarah sosial.
Dalam kaitan itu, Saini KM (1986: 14-15) memberikan tiga kedudukan sastra terhadap kehidupan (masyarakan), yakni sebagai pemekatan, penentangan, dan olok-olok. Ketiga ini sebenarnya berkaitan dengan fungsi sastra bagi kehidupan sosial. Karya sastra sebagai pemekatan, memang akan mengambarkan kehidupan masyarakat. Namun, gambaran itu bukan jiplakan, disaring dan dikristalisasi kedalam imajinasi pengarang. Menentang kehidupan, misalkan pencipta tidak setuju dengan KKN rezim Orde Baru, lalu lahir karya sastra bertema demikian. Ini berarti karya sastra menjadi penentang jaman dan aturan yang keliru. Mengolok-olok atau mengejek kehidupan, biasanya, pencipta sangat mahir memainkan ironi, paradoks, dan prodi ke dalam karyanya. Karena itu, sikap sastra yang memperolok ini sangat sensitif dan perka terhadap perkembangan zaman.
Sedangkan kajian sosiologi pembaca menurut Junus (1986:19), yang dipentingkan adalah reaksi dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra tertentu, sedangkan karya sastranya sendiri diabaikan, menjadi periferal. Untuk melihat reaksi dan penerimaan pembaca terhadap suatu karya sastra, menurut Lowental (via Junus, 1986:19) perlu diperhatikan iklim sosiobudaya masyarakatnya. Hal ini karena latar belakang sosial budaya masyarakatlah yang membentuk  cita rasa dan norma-norma yang digunakan pembaca dalam menanggapi karya sastra tertentu.
Fungsi sosial karya sastra terhadap pembaca dapat diketahui dengan cara berikut.
·         Ditentukan wilayah kajiannya, misalnya apakah akan membatasi pada komunitas pembaca tertentu yang membaca dan menanggapi karya tertentu, ataukah akan meneliti juga bagaimana karya tertentu ditanggapi oleh pembacanya.
·         Faktor-faktor sosial budaya politik  yang melatarbelakangi tanggapan pembaca.
·         Bagaimana pembaca memanfaatkan karya tertentu.
·         Mengumpulkan data yang  diperlukan dilanjutkan dengan memaknai data tersebut.

TELAAH SOSIOLOGI PEMBACA NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK
RDP menekankan upacara inisiasi yang harus dilakukan oleh tokoh Srintil. Konsep inisiasi ini bertolak dari pengertian bahwa seseorang “dianggap” dewasa setelah melakukan upacara tertentu, misalnya upacara perpeloncohan mahasiswa baru untuk menegaskannya sebagai mahasiswa. Upacara inisiasi harus dikaitkan dengan sumber asalnya, yakni mitos dan realitas.
Mitos adalah sebuah dunia kemungkinan, sesuatu yang belum pasti, tetapi mempengaruhi kehidupan manusia. Mitos itu sendiri dibentuk oleh realita. Sebab itu, mitos adalah realitas itu sendiri. Mitos itu juga timbul dari realitas dan keadaannya selalu berubah-ubah sesuai pandangan pribadi atau masyarakat.
Jadi, proses-proses inisiasi timbul dan bertolak dari mitos atau kepercayaan yang selalu diupacarakan. Di Dukuh Paruk ada mitos bahwa Dukuh Paruk tanpa ronggeng terasa hambar, para ibu di Dukuh Paruk itu merasa senang sekali bila anaknya menjadi ronggeng.  Di samping itu para istri merasa bangga bila suami mereka dapat bertayub dengan ronggeng.
Untuk menjadi ronggeng itu sendiri timbul mitos bahwa seorang ronggeng sejati bukan hasil pengajaran melainkan indang (semacam wangsit yang dimuliahkan dari dunia peronggengan) telah merasuki tubuhnya. Bila hal itu di Dukuh Paruk, maka Dukuh itu berada pada citra yang sebenarnya dan arwah Ki Secamenggala akan terbahak di kuburnya.
Dengan penampilan mitos dan upacara tersebut, novel RDP dapat dilihat sebagai berikut:
·         Pengukuhan (myth of concern) terhadap mitos dan upacara. Hal ini dapat dilihat dari presepsi Srintil yang menganggap upacara sebagai keharusan, dan karenanya ia tak memberontak upacara itu. Ia melihatnya sebagai sesuatu yang wajar, berperilaku sebagai orang lugu, semua yang dialami dianggapnya sebagai hukum keharusan sehingga harus diterima secara pasrah. Ia merasa sakit dibagaian perutnya pada upacara buka kelambu, tapi ia tetap bertahan pada posisinya.
·         Kepergian Rasus merupakan reaksi tidak setuju (myth of freedom) terhadap mitos dan upacara. Dalam presepsinya Srintil adalah figur tempat ia menemukan profil ibunya. Ia tidak mau bersetubuh dengan Srintil di dekat kuburan Ki Secamenggala, meskipun atas ajakan Sritil bukan karena ia takut akan kekeramatan kuburan itu, melainkan karena tubuh Srintil dianggapnya sebagai tubuh ibunya sendiri.
Sebenarnya Rasus sangat memberontak terhadap mitos-mitos dan upacara-upacara itu, terutama upacara bukak kelambu yang dianggapnya sebagai arena pembantaian atau penjagalan. Membayangkan hal itu ia merasa muak bercampur marah sebab melalui upacara itu mustika yang diharagai selama ini musnah sudah. Rasus merasa sangat kehilangan karena Srintil telah menjadi milik umum. Ia sangat menghargai Srintil yang tidak mau menempuh upacara bukak kelambu dan memutuskan tidak menjadi ronggeng, tetapi ia tidak punya kekuatan untuk menolak hukum keharusan itu. Merasa tidak bisa berkompromi lagi dangan nilai-nilai lama sebagai warisan leluhurnya, Rasus akhirnya meninggalkan pedukuhannya yang terpencil itu untuk mencari pengalaman hidup atau kompensasi. Tetapi agaknya Tohari optimis, “Aku, Rasus, sudahh menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk akan ku tinggalkan.” (RDP, hal:178).
Cerita yang terdiri atas empat bagian ini lebih terasa sebagai simbol dari pada cerita kisah ini merupakan penyampaian dalam bentuk lain. RDP mengemukakan sebuah tema yang sangat manusiawi. Seorang pemuda melihat kemusnahan impiannya tentang wanita ideal, sebagai ibu sekaligus kekasih, sehingga melenyapkan cinta kasih yang murni, daya khayal, dan rasa kebersamaan. Tema itu lazim dikenal dalam masyarakat barat, sehingga tema novel RDP boleh dikatakan bersifat Universal.
Untuk melukiskan keindahan dan keserasihan alam digunakan citraan-citraan yang menyarankan adanya hubungan saling berpengaruh, saling bergantung antara tumbuh-tumbuhan dan binatang, misalnya:
“demikian kearifan alam mengatur agar pohon randu tidak tumbuh berdekatan biayanya.” Atau “Pohon dadap memilih cara yang hampir sama bagi penyebaran jenisnya.” (RDP, hal:6).
“pada saat demikian kampret harus mau melalap daun waru agar jenisnya lestari.” (RDP, hal:14).
Kecuali citraan yang menggambarkan keserasian alam. Tohari memilih perdampingan dalam pengertian umpatan dan perbandingan manusia-binatang, misalnya:
            “Rasus memanjat, cepat seperti seekor monyet.” (RDP, hal:10)
“Tetapi Santayih mendengarnya sebagai hiruk pikuk suara ribuan monyet …” (RDP, hal:39)
“Aku tidur melingkar seperti Trenggiling” (RDP, hal:85)
“Melihat Srintil telanjang bulat di hadapanku, aku teringat kambing jantanku bila sedang birahi.” (RDP, hal:103)
Perbandingan-perbandingan membayangkan keakraban penderitaan dengan lingkungan yang melahirkan dan membesarkan. Sedang perbandingan dalam pengertian umpatan membuktikan tata kemasyarakatan warga Dukuh Paruk sangat longgar dalam hal moral atau tata susila.
            “Santayib. Engkau anjing! Asu buntung!” (RDP, hal:34).
            “Bajingan! Kalian semua bajingan tengik!” (RDP, hal:35).
            “Kartareja memang bajingan, bajul bunting!” (RDP, hal:75).
            “Sulam, jangkrik kamu!” (RDP, hal:113)

Kekuatan pelukisan latar tempat dan latar sosial yang terasingkan dari desa lain dan dengan demikian memiliki nilai tersendiri, juga banyak diramaikan oleh banyaknya jenis satwa yang terdapat di dalamnya. RDP-lah yang berhasil menghimpun begitu banyak jenis binatang di dalamnya, meski latar tempatnya hanya “Gerumbul kecil di tengah padang yang amat luas”.
Sebagai dukuh “terasing” sebenarnya Paruk menjadi latar yang menguntungkan Tohari untuk menggarap alur dan tokoh-tokohnya. Pertama, penggambaran masyarakat yang lugu terasa menyimpang dari alam pikir tradisional. Tetapi di Dukuh Paruk pelanggaran etika dan kerukunan tampak “dihalalkan”, apakah hal semacam ini merupakan warisan Ki Secamenggala yang semasa hidupnya dikenal sebagai bromocoran? Atau memang demikian “kerukunan” versi Dukuh Paruk? Yang jelas:
“Di sana (Dukuh Paruk) seorang suami misalnya, tidak perlu berkelahi bila suatu saat menangkap basah istrinya sedang tidur bersama laki-laki tetangga. Suami tersebut telah tahu cara bertindak yang lebih praktis, mendatangi istri tetangga itu dan menidurinya. Habis segala urusan!” (RDP, hal:136).
“Di sana di Dukuh Paruk, aku juga tahu ada obat bagi perempuan-perempuan mandul. Obat itu bernama lingga, kependakan dari kata yang berarti penis tetangga.” (RDP, hal:137).
Kedua, penggambaran watak Rasus kurang dapat dipahami dari segi cultural maupun psikologis. Rasus tidak jarang tampak terlalu bodoh, tidak jarang pula terlalu pintar dalam memahami nilai-nilai yang dihadapinya. Rupanya pengarang terlalu meyakini dan membesar-besarkan makana ungkapan jalma tan kena kinira, sehingga kurang member posisi yang cukup dan wajar bagi munculnya kesadaran cultural tokohnya.
Ketiga, memotret sosok kehidupan masyarakat lama, tetapi yang muncul justru warna kebudayaan muda dan sifat-sifat tokoh yang tidak mencerminkan akar-akar budaya yang kuat. Novel ini ingin memperlihatkan nilai-nilai yang serba goya, tetapi keinginan ini tidak kesampaian justru karena sifat kebromocorahan yang lebih mencuat.
Akibat negative dari penggambaran kebobrokan moral dan kejahatan seksual yang sangat menonjol dalam RDP ini adalah kemungkinan timbulnya kesan “pembenaran” hubungan seksual di luar nikah. Kemungkinan salah tafsir selalu ada karena cerita disampaikan secara simbolis melalui lakuan-lakuan dan antagonis cerita sama sekali tidak memberi komentar baik-buruk bid’ah budaya.
Sekecil apapun, RDP telah menguyuhkan kepada pembaca seperangkat informasi, khususnya yang berkaitan dengan seluk-beluk dunia peronggengan beserta nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalamnya, kesenian ronggeng merupakan ciri khas kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah itu sendiri merupakan unsure penting dalam kerangka identitas nasional. 

Penutup
Pada dasarnya, karya sastra sangat bermanfaat bagi kehidupan, karena karya sastra dapat memberi kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup, walaupun dilukiskan dalam bentuk fiksi. Karya sastra dapat memberikan kegembiraan dan kepuasan batin. Hiburan ini adalah jenis hiburan intelektual dan spiritual. Karya sastra juga dapat dijadikan sebagai pengalaman untuk berkarya, karena siapa pun bisa menuangkan isi hati dan pikiran dalam sebuah tulisan yang bernilai seni.




Daftar Rujukan
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Departemen dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metode Penelitian Sastra: Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS.
Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode. Yogyakarta: Gramedia.
Sumardjo, Jakob dan Saini, K.M. 1986. Apresiasi Kesusatraan. Jakarta: Gramedia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tohari, A. 2004. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Wellek Renne & Austin Werren. 1994. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Jaya.
Yournata, Andrian. 2014. Sosiologi Pengarang, Karya Sastra, dan Pembaca, (Online), (http://ilmubahasajawa.wordpress.com/2014/01/05/sosiologi-pengarang-karya-sastra-dan-pembaca/) , diakses tanggal 14 November 2016.